Penasihat senior Gedung Putih yang juga menantu Donald Trump, Jared Kushner, dan Utusan Amerika Serikat untuk Urusan Timur Tengah Jason Greenblatt, Kamis (30/5), bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk membahas kelanjutan proposal perdamaian yang diusulkan Trump.
Selain itu, Kushner dan Greenblatt juga meminta dukungan Netanyahu terkait konferensi ekonomi yang akan diadakan di Bahrain pada Juni mendatang.
Konferensi Bahrain bertujuan untuk mendorong negara-negara Arab berinvestasi di Palestina. Konferensi itu diharapkan akan mendiskusikan mengenai langkah ekonomi dari proposal perdamaian tersebut.
"Proposal perdamaian itu dijadwalkan akan dirilis pada 25 atau 26 Juni," ujar seorang pejabat AS di Washington pada Kamis.
Kushner dan Greenblatt tiba di Israel tepat ketika negara itu baru memutuskan akan mengadakan pemilu awal (snap election) pada 17 September. Pemilu lebih awal terjadi setelah Netanyahu gagal membentuk pemerintahan koalisi sebelum tenggat pada Kamis tengah malam waktu setempat.
Akibatnya, anggota parlemen memutuskan untuk membubarkan parlemen pada Kamis. Jumlah anggota parlemen yang memilih agar parlemen dibubarkan adalah 75 orang, sedangkan yang menentang hanya 45 orang.
Meski begitu, Netanyahu bersikeras untuk tidak membiarkan kemunduran di pemerintahannya itu menghambat langkah kerja sama Israel dengan AS.
"Kemunduran kecil itu tidak akan menghentikan kita, AS dan Israel akan tetap bekerja bersama," ujarnya. "Saya sangat berterima kasih karena AS berupaya untuk menyatukan sekutu di kawasan ini untuk melawan tantangan bersama, serta merebut peluang bersama."
Kushner tidak menyampaikan apakah kekacauan politik dalam negeri Israel akan menunda jalannya proposal perdamaian tersebut.
Dia hanya menekankan bahwa keamanan Israel merupakan isu yang penting bagi Washington dan mereka sangat bersemangat untuk mencapai potensi di masa depan.
Proposal perdamaian itu awalnya dijadwalkan akan dipublikasikan pada akhir 2018 atau awal 2019. Namun, peluncurannya ditunda guna memberi Netanyahu waktu untuk mengadakan Pemilu Israel pada April.
Belum jelas apakah kini proposalnya akan kembali ditunda hingga pemilu pada September.
Ketua negosiator Palestina, Saeb Erekat, meyakini proposal milik Trump akan condong menguntungkan Israel. Palestina sendiri telah menolak untuk berurusan dengan pemerintahan Trump sejak presiden ke-45 AS itu mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
"AS melonggarkan waktu demi Israel. Di sisi lain, AS sebenarnya menghambat adanya langkah politik yang serius untuk menangani persoalan Palestina dan Israel," kata perwakilan Palestine Liberation Organization, Hanan Ashrawi.