Presiden Recep Tayyip Erdogan kembali memenangkan pemilu presiden pada Minggu (24/6) dengan 52,7% suara setelah 93% suara dihitung, dengan dukungan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang juga memenangkan pemilu dengan perolehan 42,5% suara.
Kemenangan Erdogan menunjukkan kalau nasionalisme dan Islam memang berkembang luas di Turki. Nasionalisme dan Islam menjadi dua hal yang seksi. Sebagian rakyat Turki menganggap dua hal tersebut menjadi identitas mereka untuk menjadi bangsa yang besar nantinya. Pemimpin yang merepresentasikan nasionalisme dan Islam adalah Erdogan.
Erdogan memang membentuk identitas dirinya sebagai pemimpin Islam yang nasionalis. Bagi dia, kedua hal itu menopang ideologi Turki ke depan. Dengan fondasi Islam dan nasionalisme, Erdogan selalu memainkan isu tersebut untuk menarik simpati rakyatnya dan mengokohkan loyalitas di mesin AKP sebagai pendukung utamanya.
Dengan berkembangnya Islam dan nasionalisme, sekulerisme pun semakin menjauh dari Turki. Gaya hidup sebagian masyarakat Turki juga berpegang pada kedua hal tersebut. Jika sebelum Erdogan, Turki dikenal sebagai negara yang memasukkan sekularisme masuk ke dalam lembaga pemerintahan, kini hal itu justru sebaliknya. Mulai dari institusi pemerintahan hingga sekolah, sekularisme sudah semakin tipis. Sudah bisa dipastikan, setelah Erdogan memenangkan pemilu, maka sekularisme bisa saja akan sirna dari Turki.
Dalam lima tahun mendatang, Erdogan dipastikan akan fokus pada pembangunan infrastruktur sebagai penopang ekonomi Turki. Kemenangannya pada pemilu kali ini juga kerap dikaitkan dengan andalannya untuk terus membangun proyek infrastruktur. Erdogan sangat percaya kalau kekuatan ekonomi suatu negara, ditentukan oleh infrastruktur yang banyak dan solid.
Pemerintahan Erdogan ke depan di perkirakan akan otoriter. Itu dikarenakan dia merupakan presiden pertama yang menerapkan sistem presidensial sebagai buah dari amenendemen konstitusi, yang disepakati melalui referendum pada 2017 lalu. Perubahan sistem pemerintahan itu merupakan ambisi Erdogan untuk menjadi "sultan" Turki.
Dengan sistem presidensial, Erdogan bisa menunjuk pejabat publik dan menteri sesuai kehendaknya sendiri. Dia bisa mengintervensi sistem hukum dan peradilan di Turki. Dia juga tak perlu bantuan perdana menteri untuk memimpin pemerintahan, sehingga kekuasaan Turki benar-benar berada di tangannya.
Yang terpenting, sistem presidensial menjadikan Erdogan mampu memegang tampuk kepemimpinan militer. Dia tidak perlu takut dikudeta lagi. Dia mampu mengonsolidasikan kekuatan militer untuk menghadapi ancaman teroris di kawasan perbatasan, sehingga militer akan solid mendukung Erdogan.
Mengenai kebijakan luar negeri ke depannya, Erdogan diprediksi akan semakin menjauhi Uni Eropa. Dia tetap akan terus membangun kedekatan dengan Rusia. Itu dikarenakan Erdogan sudah tidak lagi tertarik menjadi anggota Uni Eropa, karena banyak dikecewakan blok ekonomi terbesar di dunia itu. Dengan menjauhi Uni Eropa, Erdogan yakin Turki akan semakin independen dan berwibawa karena tidak harus mengemis kepada Uni Eropa.
Di kawasan Timur Tengah, Erdogan menginginkan Turki menjadi pemimpin. Dia ingin mengalahkan dominasi Arab Saudi yang didukung penuh Amerika Serikat. Dukungan Erdogan kepada Qatar yang diblokade Saudi pun akan tetap diteruskan. Permainan politik Erdogan di Suriah juga akan tetap dimainkan.