close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo saat dilantik untuk masa jabatan kedua pada 20 Oktober 2019. Achmad Ibrahim/Pool via REUTERS
icon caption
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo saat dilantik untuk masa jabatan kedua pada 20 Oktober 2019. Achmad Ibrahim/Pool via REUTERS
Dunia
Selasa, 07 Januari 2020 13:16

Menilik diplomasi ekonomi sebagai fokus polugri Indonesia

Ada dua alasan yang menjadi dasar penetapan diplomasi ekonomi sebagai prioritas.
swipe

Pada akhir Oktober 2019, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi memaparkan lima prioritas politik luar negeri (polugri) Indonesia selama lima tahun ke depan. Diplomasi ekonomi menjadi pilar pertama dan prioritas. 

Menlu Retno menyebut, diplomasi ekonomi akan digunakan untuk memperkokoh kerja sama ekonomi baik di level bilateral, kawasan, maupun internasional.

Staf Ahli Menteri Luar Negeri Bidang Diplomasi Ekonomi Ina H. Krisnamurthi mengatakan, ada dua alasan yang menjadi dasar penetapan diplomasi ekonomi sebagai prioritas. Pertama, kondisi ketidakpastian ekonomi global yang diwarnai isu perang dagang.

"Banyak pihak yang hanya memikirkan bagaimana caranya melindungi kepentingan masing-masing," tutur Ina kepada Alinea.id pada 20 Desember.

Ketidakpastian itu, tambahnya, juga memengaruhi sejumlah kawasan. Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut Asia Tenggara sebagai wilayah yang berhasil bersinar di tengah situasi global yang buruk, meskipun kawasan lain dinilai sangat "redup".

Alasan kedua adalah kondisi domestik di mana sejak awal, pemerintahan Presiden RI Joko Widodo sangat fokus melakukan reformasi kebijakan dan birokrasi dalam negeri.

"Jadi, menlu dalam hal ini menjadikan dua alasan tersebut sebagai pertimbangan yang tepat untuk menetapkan diplomasi ekonomi sebagai pilar pertama polugri Indonesia," lanjut dia.

Pengamat ekonomi internasional dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menilai bahwa diplomasi ekonomi dapat menjadi strategi untuk memperbaiki perekonomian Indonesia.

Salah satu permasalahan perekonomian Indonesia, jelasnya, merupakan defisit neraca perdagangan. Menurut dia, isu tersebut dapat diperbaiki menggunakan strategi outward looking yang sangat terkait dengan diplomasi ekonomi.

"Saya rasa ini menjadi bagian penting karena dalam hal diplomasi ekonomi, selama ini Indonesia kalah agresif dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan tentunya yang paling fenomenal, Vietnam," tutur dia saat dihubungi Alinea.id pada 17 Desember.

Mengenai target diplomasi ekonomi, Ina menekankan bahwa tidak seperti kementerian sektoral lainnya, Kemlu RI tidak memiliki target kuantitatif.

Kemlu, jelasnya, menggolongkan target berdasarkan empat elemen. Elemen pertama merupakan diplomasi, dalam arti pada setiap pertemuan bilateral, regional, maupun multilateral, harus memiliki diskusi bermakna mengenai ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

"Elemen kedua merupakan lobi. Apabila suatu isu ekonomi domestik membutuhkan lobi ke pihak luar negeri, maka kami siap membantu," jelas Ina.

Setelah itu, elemen ketiga adalah promosi. Jika ada sektor yang membutuhkan promosi atau market intelligence, maka Kemlu RI siap memanfaatkan asetnya berupa 132 perwakilan luar negeri. 

Elemen keempat yang menjadi tolok ukur target diplomasi ekonomi Kemlu RI adalah penyelesaian perselisihan, baik di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) maupun di forum-forum internasional lainnya.

Dalam pidatonya, Menlu Retno menggarisbawahi penetrasi pasar nontradisional sebagai salah satu metode yang diperlukan untuk menguatkan diplomasi ekonomi Indonesia.

Mengiyakan pernyataan menlu, Ina menyatakan bahwa menjangkau pasar nontradisional merupakan hal yang perlu dilakukan.

Namun, dia menyebut, penetrasi pasar tidak terbatas pada transaksi ekonomi saja. Penetrasi pasar dapat berupa kerja sama lebih luas di bidang pembangunan atau pertukaran ilmu.

"Pembangunan itu sebetulnya salah satu elemen ekonomi. Indonesia percaya bahwa kalau pendekatan kita adalah pembangunan, itu pun sudah mencakup transaksi ekonomi," ungkap dia.

Ina memberi contoh tentang Kepulauan Pasifik yang mengkhawatirkan ancaman perubahan iklim. Pada 2017, kata dia, sejumlah pulau di kawasan itu tenggelam akibat naiknya permukaan air laut yang dipicu oleh pemanasan global.

Melihat kesempatan tersebut, Indonesia membidik untuk melakukan kerja sama pembangunan dengan sejumlah negara Kepulauan Pasifik.

"Kalau Indonesia bisa belajar dari apa yang mereka alami kan menguntungkan buat kita juga. Kalau kita membantu pembangunan mereka, artinya kita juga bisa bantu pembangunan di kepulauan-kepulauan kita sendiri," jelas Ina.

Selain itu, Ina menjelaskan bahwa penetrasi pasar nontradisional lebih menyoroti bagaimana Indonesia dan negara-negara nontradisional itu dapat saling belajar dari pengalaman satu sama lain.

"Kalau fokusnya terlalu politik, keamanan, pertahanan, dan ekonomi, tidak akan dapat manfaatnya," tutur dia.

Selain Kepulauan Pasifik, Amerika Latin menjadi sasaran penetrasi pasar nontradisional Indonesia. Kawasan itu, jelas Ina, memiliki koneksi dengan Indonesia yang sejak dulu memperjuangkan kemerdekaan mereka.

Lebih lanjut, Indonesia juga membidik untuk memperluas pengaruh ke pasar Afrika. Itu terlihat dari diselenggarakannya sejumlah forum bisnis seperti Indonesia-Africa Forum (IAF) 2018 yang ditindaklanjuti oleh Indonesia-Africa Infrastructure Dialog (IAID) 2019.

Fithra mengatakan bahwa Afrika dan Indonesia memiliki hubungan historis yang dapat digunakan untuk mempermudah penetrasi ke pasar Afrika.

"Ketika masuk ke sana, seharusnya hampir tidak ada hambatan yang berarti kecuali masalah logistik atau transportasi. Hal-hal itu bisa dipecahkan kalau kedua pihak sudah membangun perbaikan dengan internsif," ujar Fithra.

Dia menilai bahwa forum-forum bisnis seperti IAF atau IAID belum menjadi sarana optimal untuk menjembatani pasar Indonesia dan Afrika.

"Harus lebih konkret, forum-forum seperti itu bagus untuk membuat kesan awal saja, tetapi tidak cukup," lanjut dia.

Mengutip perkataan Menlu Retno, Ina menyebut bahwa soal pasar Afrika, Indonesia dapat dinilai telat dibandingkan dengan China atau Jepang.

IAF sendiri berhasil melahirkan sejumlah kesepakatan bisnis dengan total nilai lebih dari US$500 juta. Walaupun banyak pledge yang dibuat dalam forum tersebut, Ina mengatakan bahwa tantangan tetap ada.

"Bagaimanapun juga, Afrika itu kawasan yang mengalami perang berkepanjangan dan konflik internalnya pun banyak. Infrastruktur dan kapasitas SDM-nya tergolong masih rendah," jelas dia.

Melalui IAF dan IAID, Indonesia melihat bahwa Afrika memiliki ketertarikan nyata untuk menjalin hubungan lebih serius dengan Indonesia. Namun, kedua pihak masih memiliki banyak pekerjaan rumah.

Salah satu pekerjaan rumah terbesar Afrika dan Indonesia adalah menindaklanjuti dan mewujudkan kesepakatan bisnis yang sudah disetujui di kedua forum tersebut.

Ina menjelaskan bahwa penetrasi pasar nontradisional memiliki sejumlah tantangan. Salah satunya, pasar nontradisional merupakan daerah tidak bertuan karena belum pernah memiliki hubungan yang berarti.

"Jadi, harus ada keberanian untuk mencoba dan berinvestasi," tutur dia.

Selain itu, dibutuhkan banyak pembelajaran dan pengayaan ilmu untuk mengetahui kebutuhan pasar tertentu. Contohnya Afrika, jelas Ina, meminta Indonesia membantu dalam hal manajemen perbankan dan perhotelan.

"Memang kalau dilihat permintaannya itu sederhana, tapi tetap sulit karena itu pasar yang harus kita pelajari terlebih dahulu," lanjut Ina.

Di lain sisi, Indonesia masih kesulitan untuk mengakses pasar Amerika Latin karena hambatan jarak dan minimnya konektivitas.

"Amerika Latin juga sedang menghadapi dinamika domestik yang luar biasa, mereka masih agak challenging untuk melakukan pendekatan terus-menerus," kata dia.

Selain menjangkau pasar nontradisional, demi mengokohkan diplomasi ekonomi, Indonesia juga melakukan upaya-upaya baru dalam hal perdagangan internasional.

"Kemlu RI membidik beyond trade," kata Ina.

Selama ini, lanjutnya, Indonesia terlalu fokus menggarap bidang perdagangan padahal pendekatan lain dapat dilakukan. Contohnya, pembangunan infrastruktur.

"Beberapa negara tidak punya kapasitas dan kapabilitas untuk membangun infrastruktur baik itu rel kereta, stadion olahraga, maupun jembatan," ujar Ina. "Kita harus berupaya membuka kesempatan semacam itu kepada para pemangku kepentingan domestik. Itu kesempatan ekonomi buat Indonesia yang melampaui perdagangan."

Senada dengan Ina, Fithra menyatakan bahwa Indonesia perlu membidik pasar nontradisional sebagai alternatif dari pasar tradisional yang sedang "menderita" seperti Amerika Serikat dan China.

"Alternatif itu ada di pasar nontradisional yang perlu dikejar. Beberapa di antaranya misalnya Afrika, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Latin, Asia Tengah, dan Timur Tengah," jelas dia.

Tantangan penetrasi pasar nontradisional

Ina memaparkan, tantangan terberat dari penetrasi pasar nontradisional adalah melakukan "comblang" antara kedua pihak.

"Kedua pihak masing-masing memiliki 'calon', tapi butuh keberanian untuk bertemu di tengah. Kalau belum saling kenal, itu akan susah banget," ungkap Ina. "Menurut saya, mengawinkan antara dua kutub ini menjadi tantangan terbesar karena kadang-kadang tidak bisa klop."

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Menlu Retno meminta agar di setiap forum konsultasi bilateral, Indonesia tidak hanya mendiskusikan isu politik, tetapi juga menekankan kerja sama bisnis.

"Setiap diskusi dalam forum bisnis pun sudah harus komprehensif dan terarah. Kedua negara perlu benar-benar mengidentifikasi pasar, mengetahui apa yang dibutuhkan dan bagaimana cara mendekatinya," ujar dia.

Lebih lanjut, tantangan selanjutnya merupakan pandangan negara tujuan yang belum melihat Indonesia sebagai negara maju untuk menjalin kerja sama ekonomi.

Ina menyebut bahwa Indonesia tidak bisa berkutat lagi pada tahap membangun hubungan, tetapi perlu mendorong lahirnya kerja sama konkret.

Tantangan terakhir merupakan masalah domestik yang terkadang membuat Indonesia cenderung menjauh dari dinamika global dan regional.

"Kementerian sektoral atau para pemangku kepentingan cenderung menjauh karena mikirnya, 'Saya beresin urusan dalam negeri dulu, deh'," ujar dia.

Di sisi lain, pengamat hubungan internasional dari Synergy Policies Dinna Wisnu mengatakan bahwa penetrasi pasar nontradisional hanya sering diucap oleh pemerintah tetapi bentuk nyatanya masih jauh dari optimal.

Salah satu penyebabnya, jelas dia, merupakan belum ada terobosan kerja sama lintas sektor dari kementerian-kementerian lain.

Selain itu, dia menilai kawasan yang menjadi sasaran penetrasi pasar nontradisional juga kurang masuk akal.

"Untuk Afrika, hanya sebagian negara yang bisa diprioritaskan sekarang, apalagi Amerika Latin dan Karibia yang terlalu jauh. Akan menguras terlalu banyak biaya untuk menggarap pasar-pasar itu," tutur Dinna saat dihubungi Alinea.id pada 16 Desember.

Prioritas 2020

Ina menjabarkan sejumlah prioritas diplomasi ekonomi Kemlu RI pada 2020. Agenda utama untuk tahun ini merupakan penyelesaian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan 16 negara.

"Indonesia sangat mengharapkan India masih bersama RCEP. Dan kalaupun jadi ditandatangani pada 2020, kami ingin RCEP menjadi perjanjian yang tidak saling merugikan atau menjatuhkan," jelas Ina.

Senada dengan Ina, Fithra pun menilai bahwa RCEP perlu menjadi prioritas Indonesia. Yang paling penting, kata dia, adalah agar seluruh target dikejar secara simultan dan bergerak secara bersamaan.

"Kemlu tidak bisa kerja sendirian karena sebetulnya secara substansi ada di kementerian lain seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Sayang sekali kalau kemlu agresif tapi yang lain pasif, kalau begitu, bisa kehilangan substansi dan momentum dari proses-proses negosiasi," jelas Fithra.

Sedangkan menurut Dinna, Indonesia perlu segera mengoptimalkan penetrasi produk barang dan jasa ke pasar-pasar terdekat yakni di Asia Tenggara atau Asia Tengah.

"Hal ini saya sarankan untuk dilakukan karena saat ini, perekonomian kita di tingkat global lebih didorong oleh demand pembeli. Akibatnya, daya tawar pekerja dan pengusaha Indonesia cenderung lemah serta harga produk kita ditekan," kata Dinna.

Dilansir dari situs kemendag, ada pun lima perjanjian dagang yang akan dikejar pada 2020 antara lain, Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), Indonesia-Moroko Preferential Trade Area (PTA), Indonesia-Tunisia PTA, Indonesia-Bangladesh PTA, dan Indonesia-Turki CEPA.

Di luar itu, Ina menjelaskan bahwa Indonesia berencana untuk menyepakati Free Trade Agreement (FTA) dengan sejumlah negara di kawasan Amerika Latin, Eropa Timur, dan Eropa Tengah.

Dia menegaskan bahwa Kemlu RI juga ingin mencapai target yang melampaui prioritas pada 2020.

"Harus berpikir beyond 2020 ... Memang harus sepatutnya berpikir hingga prioritas pada 2021 karena pasar-pasar yang potensial itu banyak sekali," tutur dia.

Fokus diplomasi ekonomi Indonesia juga tercermin dari ditunjuknya Mahendra Siregar sebagai wakil menteri luar negeri. Pasalnya, pria berusia 57 tahun itu sempat menjabat sebagai wakil menteri perdagangan hingga 2011 dan wakil menteri keuangan hingga 2013.

Menurut Fithra, penunjukkan Mahendra sebagai wamenlu sangat tepat karena melihat rekam jejaknya, dia seharusnya sudah sangat paham "medan".

Namun Fithra menekankan, upaya Mahendra sendiri tidak cukup. Perlu ada koordinasi dengan kementerian dan lembaga lain untuk memaksimalkan diplomasi ekonomi Indonesia.

"Pak Mahendra cukup agresif tapi saya melihat ini belum diimbangi oleh kementerian lain. Seharusnya melangkah berbarengan karena akan minim substansi jika maju sendiri-sendiri," ujar Fithra.

Antara melaporkan bahwa Presiden Jokowi secara khusus memberikan Mahendra tiga tugas sebagai wamenlu. Salah satunya berkaitan dengan pasar minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia yang saat ini mendapat hambatan dari Uni Eropa.

Menanggapi hal ini, Ina menekankan bahwa diplomasi sawit tetap menjadi salah satu prioritas Indonesia.

"Soal ini, unsur intermestiknya luar biasa kental. Di mana pun panggungnya, Indonesia harus mengusung CPO karena sekitar 14 juta warga Indonesia bergantung pada industri sawit," ungkap dia.

Terkait diplomasi sawit, Indonesia menekankan lima elemen yakni lobi, litigasi, riset, diseminasi informasi, serta pemanfaatan pasar domestik.

Diseminasi informasi, jelas Fithra, merupakan hal yang krusial dalam kampanye "Sawit Baik" yang diluncurkan pemerintah Indonesia.

"Ini menekankan bagaimana cara Indonesia meyakinkan bahwa CPO kita tidak bermasalah. Butuh data yang cukup dan kuat untuk melakukannya," lanjut dia. "Butuh pembuktian karena bagaimanapun, CPO adalah salah satu komoditas unggulan Indonesia."

img
Valerie Dante
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan