Para menteri luar negeri Asia Tenggara bertemu di Ibu Kota Indonesia pada Jumat (3/2), untuk melakukan pembicaraan yang dibayangi oleh situasi yang memburuk di Myanmar, yang dikuasai militer. Meskipun begitu, ada agenda lain yang berfokus pada ketahanan pangan dan energi serta kerja sama di bidang keuangan dan kesehatan.
Myanmar termasuk dalam 10 anggota ASEAN. Tetapi pada pertemuan menteri tahunan yang diadakan di Jakarta kali ini, tanpa dihadiri menteri luar negerinya, Wunna Maung Lwin.
Ketidakhadirannya akibat dari kurangnya kerja sama Myanmar dalam mengimplementasikan perjanjian lima langkah yang dibuat pada 2021 antara para pemimpin ASEAN dan pemimpin militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Dalam perjanjian tersebut, para pemimpin militer Myanmar berjanji untuk mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk bertemu dengan pemimpin terguling yang dipenjara Aung San Suu Kyi dan lainnya untuk mendorong dialog yang bertujuan meredakan krisis, yang dipicu oleh perebutan kekuasaan oleh militer dua tahun lalu.
Tahun lalu, ketika ASEAN diketuai oleh Kamboja, Min Aung Hlaing tidak diundang ke pertemuan November para pemimpin ASEAN. Hal itu setelah Myanmar menolak untuk mengizinkan utusan ASEAN bertemu dengan Suu Kyi.
Analis mengatakan pengambilalihan militer di Myanmar berdampak besar selama pertemuan para menteri luar negeri, bahkan ketika Indonesia, ketua ASEAN tahun ini, berusaha untuk meredam kekhawatiran bahwa masalah tersebut akan “menyandera” blok tersebut.
Memulai pergantian negara sebagai ketua blok regional, Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan pada akhir bulan lalu bahwa ASEAN akan terus berkontribusi untuk menjadikan Indo-Pasifik, sebagai kawasan yang damai dan stabil serta menjaga pertumbuhan ekonomi regional.
Dalam sambutan pembukaannya Jumat, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan, para menteri bertemu di tengah tantangan global yang sangat besar di mana kawasan Indo-Pasifik tidak kebal krisis geopolitik, pangan, energi, keuangan dan ekologi, serta krisis besar persaingan kekuasaan yang dapat meluas dan berpotensi menggoyahkan kawasan.
“Secara internal, kami menghadapi situasi di Myanmar yang menguji kredibilitas kami,” kata Marsudi, seraya menambahkan bahwa “sebagai sebuah keluarga, kami mendedikasikan jamuan makan siang untuk berdiskusi secara mendalam dan jujur tentang penerapan konsensus lima poin.”
Marsudi mengatakan sebelumnya bahwa Indonesia akan memastikan fokus pada pengembangan blok regional sebagai komunitas dan memanfaatkan pertumbuhan ekonomi ASEAN.
“Masalah Myanmar tidak akan dibiarkan menyandera proses penguatan pembangunan komunitas ASEAN,” kata Marsudi bulan lalu saat menguraikan kebijakan luar negeri Indonesia tahun ini.
Dia mengataka,n ASEAN kecewa dengan kurangnya kemajuan selama dua tahun terakhir di Myanmar, meskipun ada gerakan balasan yang berkembang dan ancaman global berupa sanksi dan pengucilan politik.
“Terlepas dari semua upaya dari ketua dan semua negara anggota ASEAN, penerapan konsensus lima poin oleh junta militer Myanmar belum membuat kemajuan yang signifikan,” katanya.
Marsudi mengatakan, Indonesia sedang mendirikan kantor utusan khusus ASEAN untuk Myanmar di Jakarta untuk mempelopori bagaimana blok tersebut menangani krisis dan dia akan berusaha untuk terlibat dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar, mencatat bahwa sangat penting untuk memungkinkan dialog nasional untuk mengatasi krisis.
Analis internasional dari Universitas Gajah Mada Randy Nandyatama, merekomendasikan agar ASEAN meninjau kembali prinsip-prinsip landasannya untuk tidak mencampuri urusan dan keputusan anggota lain melalui konsensus.
“Beberapa mekanismenya terlalu longgar sehingga menyulitkan negara-negara anggota untuk mematuhi prinsip-prinsip yang ada,” katanya. Dia menambahkan bahwa menyelesaikan masalah Myanmar penting dilakukan. Hal itu tidak hanya untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran di kawasan, tetapi juga untuk memperkuat legitimasi dan fungsi ASEAN sendiri sebagai organisasi regional yang dapat membangun dialog dengan Myanmar.
“Menyelesaikan krisis di Myanmar merupakan tantangan utama keketuaan Indonesia,” kata Nandyatama.