Militer Myanmar menyerang sebuah acara yang dihadiri oposisi pemerintah, pada Selasa (11/4). Media dan anggota gerakan perlawanan lokal melaporkan sedikitnya 50 orang tewas dalam serangan itu.
Mengutip penduduk di wilayah Sagaing, BBC Burma, Radio Free Asia (RFA), dan portal berita Irrawaddy melaporkan antara 50 hingga 100 orang, termasuk warga sipil, tewas dalam serangan itu.
Reuters tidak dapat segera memverifikasi laporan tersebut dan juru bicara militer yang berkuasa tidak menjawab panggilan telepon untuk wawancara.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta tahun 2021. sejak itu perlawanan dari tentara etnis minoritas dan pejuang perlawanan yang menantang kekuasaan militer, sering dibalas dengan serangan udara dan senjata berat, termasuk di wilayah sipil.
Seorang anggota Pasukan Pertahanan Rakyat setempat (PDF), sebuah milisi anti-junta, mengatakan kepada Reuters bahwa jet tempur telah menembaki sebuah upacara yang diadakan untuk membuka kantor lokal mereka.
"Sejauh ini jumlah pasti korban masih belum diketahui. Kami belum bisa mengambil semua jenazah," kata anggota PDF yang menolak disebutkan namanya itu.
Setidaknya 1,2 juta orang telah mengungsi akibat pertempuran pasca kudeta, menurut PBB.
Insiden hari Selasa bisa menjadi salah satu yang paling mematikan di antara serangkaian serangan udara sejak jet menyerang sebuah konser pada bulan Oktober, menewaskan sedikitnya 50 warga sipil, penyanyi lokal dan anggota kelompok etnis minoritas bersenjata di Negara Bagian Kachin.
Pemerintah pro-demokrasi Myanmar di pengasingan, Pemerintah Persatuan Nasional, mengutuk serangan itu, menyebutnya sebagai "contoh lain dari penggunaan kekuatan ekstrem (militer) yang membabi buta terhadap warga sipil".
Bulan lalu, setidaknya delapan warga sipil termasuk anak-anak tewas dalam serangan udara di sebuah desa di barat laut Myanmar, menurut kelompok hak asasi manusia, pemberontak etnis minoritas, dan media.
Militer membantah tuduhan internasional bahwa mereka telah melakukan kekejaman terhadap warga sipil dan mengatakan sedang memerangi "teroris" yang bertekad untuk mengacaukan negara.
Negara-negara Barat telah menjatuhkan sanksi pada junta dan jaringan bisnisnya yang luas untuk mencoba menghentikan pendapatan dan akses senjata dari pemasok utama seperti Rusia.