Pemerintah pimpinan militer Myanmar bekerja sama dengan perusahaan energi atom negara Rusia, meresmikan pusat informasi tenaga nuklir, sebagai langkah menuju pengembangan tenaga atom untuk mengisi kekurangan energi di negara Asia Tenggara yang dilanda perselisihan itu.
Media pemerintah Myanmar melaporkan pada Selasa (7/2), bahwa kepala pemerintahan militer, Jenderal Senior Min Aung Hlaing telah bertemu dengan Direktur Jenderal Perusahaan Energi Atom Negara Rusia, atau Rosatom yang bernama Alexey Evgenievich Likhachev.
Pejabat dari kedua belah pihak bertemu di Pusat Informasi Teknologi Nuklir yang baru dibuka di kota terbesar Myanmar, Yangon, pada Senin (6/2), kata surat kabar yang dikelola pemerintah, Global New Light of Myanmar.
Myanmar berharap dapat membangun dan mengoperasikan reaktor di bawah kesepakatan awal antara Myanmar dan Rosatom yang ditandatangani pada 2015. Kedua belah pihak telah menandatangani nota kesepahaman di Moskow pada Juli 2022 tentang energi nuklir, pelatihan dan sosialisasi pemahaman publik tentang tenaga atom.
“Berkat kerja sama Rosatom, Myanmar harus meningkatkan sumber daya manusia yang terkait dengan pembangunan dan pengoperasian Reaktor Modular Kecil di Myanmar dan untuk menghasilkan ahli yang memenuhi syarat untuk masing-masing sektor,” kata surat kabar itu mengutip Min Aung Hlaing.
“Kedua belah pihak terus bertukar pandangan tentang penggunaan efektif energi nuklir di sektor kesehatan dan pertanian termasuk produksi listrik dan kerja sama lebih lanjut dalam penggunaan energi nuklir secara damai,” kata surat kabar itu.
Perkembangan tersebut kemungkinan akan memicu kekhawatiran bahwa militer Myanmar ingin mengembangkan kemampuan senjata nuklir. Ada kecurigaan satu dekade lalu bahwa Korea Utara memasok teknologi senjata nuklir ke Myanmar, tetapi tidak ada bukti pasti.
Rusia mempertahankan hubungan persahabatan dengan Myanmar, yang diperlakukan sebagai negara paria oleh banyak negara Barat setelah tentaranya menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada 2021 dan dengan kekerasan menekan oposisi, menewaskan ribuan warga sipil dan menyebabkan apa yang digambarkan oleh beberapa pakar PBB sebagai perang sipil.
Amerika Serikat dan negara-negara lain telah memberlakukan sanksi politik dan ekonomi terhadap para jenderal yang berkuasa, sementara Rusia memasok militer dengan senjata, termasuk pesawat tempur yang terkadang digunakan untuk melawan warga sipil.
Rusia telah mempromosikan kerja sama tenaga nuklir dengan beberapa negara Asia Tenggara termasuk Vietnam, Indonesia dan Filipina.