Malaysia telah mengarah ke perpecahan ras dan budaya yang “menakutkan”. Nurul Izzah Anwar memperingatkan bahwa kaum konservatif telah mengungguli partai reformasi – yang didirikan oleh ayahnya Anwar Ibrahim. Penguasaan lawan atas media sosial telah mengobarkan politik identitas dan memecah-belah masyarakat.
Pertikaian mengenai budaya sudah meruyak masa jabatan Perdana Menteri Anwar. Setelah pemilu nasional pada tahun 2022 berakhir tanpa pemenang yang jelas, namun membawa bangkitnya blok minoritas nasionalis Melayu yang kuat ke parlemen.
Mulai dari kaus kaki yang bertuliskan “Allah”, hingga seorang pekerja yang mengenakan liontin salib saat menyiapkan makanan di sebuah restoran Muslim China, rangkaian kemarahan – yang sering kali diperkuat oleh para pemimpin Melayu-Muslim – telah menarik perhatian pemerintah. Kritikus mengatakan mereka telah berhasil menyeret perdana menteri untuk menyelaraskan diri dengan tujuan-tujuan konservatif.
“Polarisasi adalah tantangan terbesar kami. Dan itu tidak bersifat religius. Menurut saya itu lebih etnosentris dari apa pun,” kata Nurul Izzah saat diwawancarai This Week in Asia.
“Kita harus menceritakan kembali kisah-kisah Malaysia dan merayakan suara-suara yang berbeda. Tapi kita tidak punya tempat yang aman sekarang karena semuanya sangat menakutkan,” katanya tentang upaya menjembatani kesenjangan budaya.
Nurul Izzah, putri tertua Anwar dan anggota pendiri Parti Keadilan Rakyat (PKR), mengatakan kemarahan tersebut dipicu oleh “gelombang hijau” – yang mencerminkan warna utama Partai Islam Pan-Malaysia (PAS) – selama pemilu 2022.
Banyak pemilih Melayu yang mendukung PAS, sebagai bentuk penolakan terhadap mantan partai penguasa yang tercemar korupsi, UMNO, yang selama beberapa dekade menjadi kendaraan politik yang mewakili suara dan kepentingan kelompok etnis terbesar di negara tersebut.
Pada pemilu November 2022 juga, Nurul Izzah, 44, mengalami kekalahan pemilu pertamanya, kalah dari kandidat PAS dan mengakhiri tiga masa jabatan berturut-turut sebagai anggota parlemen.
“Itu merupakan kejutan besar. Saya tidak pernah kalah dalam pemilu dalam hidup saya. Saya ingat ibu saya memberi tahu saya; ‘ayahmu memenangkan kursi tersebut ketika kamu berusia dua tahun’... itu adalah beban yang sulit untuk dipikul,” katanya dikutip South China Morning Post.
Meski dia kalah, hal itu tidak menggagalkan upaya ayahnya untuk menjadi perdana menteri.
Media sosial jadi pendorong utama di balik perubahan masyarakat, kata Nurul Izzah, sambil mengakui bahwa para pemimpin di partainya dan mitra mereka dalam koalisi Pakatan Harapan jauh tertinggal dari PAS dan oposisi di aplikasi berbagi video TikTok.
“Mereka selalu unggul dalam tahap retoris. Anda mentransfer bentuk seni retorika itu ke media sosial, dan itu menjadi alat yang sangat efektif,” katanya.
Nurul Izzah mengatakan kesenjangan sosial yang semakin dalam di Malaysia sejalan dengan tren yang berkembang di seluruh dunia, dengan meningkatnya bukti resistensi terhadap globalisasi dan pengabaian nilai-nilai universal yaitu keadilan dan kesetaraan.
“Ketakutan saya adalah sebagian besar dunia telah kehilangan moralnya,” kata Nurul Izzah.
Sebelumnya, Nurul Izzah Anwar telah ditunjuk sebagai ketua wadah pemikir Social & Economic Research Initiative (Seri).
Seri mengatakan Nurul Izzah membawa segudang pengalaman dan keahlian dalam pembangunan sosial, memperkuat komitmen lembaga penelitian tersebut untuk terus memprioritaskan kesenjangan dan isu-isu sosial.
“Dia adalah pelayan publik terkemuka, aktivis politik dan legislator, dan terus mempromosikan keadilan ekonomi dan sosial bagi seluruh warga Malaysia,” kata Seri dalam sebuah pernyataan.(scmp,freemalay)