Palestina menggugat proposal perdamaian bikinan AS
Pada Selasa (25/6), pemerintahan Donald Trump meluncurkan formula ekonomi senilai US$50 miliar untuk perdamaian Palestina-Israel. Menantu yang juga penasihat Trump, Jared Kushner, menyatakan bahwa rencana tersebut menawarkan Palestina masa depan yang lebih makmur jika mereka menyetujui perjanjian damai dengan Israel.
Kushner, yang berasal dari keluarga Yahudi, menguak rencana perdamaian Palestina-Israel tersebut dalam konferensi bertajuk "Peace to Prosperity" yang berlangsung selama dua hari di Bahrain. Negara itu merupakan rumah bagi Armada Kelima Angkatan Laut AS.
"Kita dapat mengubah kawasan ini dari korban konflik masa lalu menjadi model untuk perdagangan dan kemajuan di seluruh dunia," kata Kushner dalam pembukaan konferensi di Manama, Bahrain, yang dihadiri pula Presiden Bank Dunia David Malpass dan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengecam rencana tersebut.
"Uang itu penting. Ekonomi penting ... tapi solusi politik lebih penting," tegas Presiden Abbas.
Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al Shun menggemakan kembali pernyataan Presiden Abbas.
"Konferensi Manama akan menghasilkan poin-poin rekomendasi yang akan menyulitkan dan membuat rakyat Palestina menjadi lebih sedih. Karena konferensi tersebut tidak dimulai dengan niat-niat yang tulus, melainkan terdapat banyak kepentingan dari pengusaha-pengusaha real estate yang ada di AS," kata Dubes Al Shun di Kedutaan Palestina di Jakarta pada Rabu (26/6).
Palestina sendiri memboikot konferensi Manama. Fakta bahwa konferensi tetap berlangsung tanpa kehadiran Palestina membuat Dubes Al Shun mengibaratkannya bak pesta pernikahan yang tidak dihadiri oleh mempelai.
"Yang dituntut rakyat Palestina hanyalah kemerdekaan dari penjajahan politik yang tengah berlangsung karena dengan hilangnya penjajahan politik rakyat bisa bangkit secara ekonomi, pendidikan dan di berbagai bidang lainnya. Kita tahu rakyat Palestina punya kemampuan untuk bangkit seperti halnya bangsa-bangsa lain," tutur Al Shun.
Menurut Al Shun, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah jika memang bantuan-bantuan yang nantinya akan diberikan AS berasal dari negara-negara Arab, mengapa itu tidak diberikan langsung ke Palestina.
"Hakikatnya, AS yang menjanjikan bantuan ke Palestina akan memberikan sebaliknya, hal-hal yang menyulitkan. Kita lihat sejarah, AS jugalah yang memutus bantuan yang diberikan berbagai pihak kepada Palestina. Di antaranya bantuan yang diberikan lewat UNRWA ... Jadi, AS tidak menawarkan hal baru, hanya mengulang-ulang strategi yang sama, yaitu mereka menginginkan pembangunan proyek-proyek yang dapat menampung orang-orang Israel di bumi Palestina."
"Dan ketika kita ingin menerima bantuan itu kita harus mengakui bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Konferensi Manama adalah permainan licik AS. Al Quds bukanlah tempat yang bisa dijualbelikan ... Maka kami menolak hadir dalam konferensi tersebut."
Alih-alih menyebutnya sebagai "Kesepakatan Abad Ini" atau "Deal of Century", Al Shun mencapnya sebagai kesepakatan terburuk.
Dubes Al Shun juga menceritakan kelakuan Israel yang merampas pemasukan Palestina, termasuk yang berasal dari pajak. Peristiwa ini sudah berlangsung selama berbulan-bulan.
"Lebih parahnya lagi, uang pesangon atau jaminan yang diberikan kepada anak-anak yang orangtuanya gugur di Palestina ikut mereka ambil. Dengan gampang mereka mengatakan itu adalah anak-anak teroris," ungkap diplomat Palestina itu.
Israel yang juga absen dalam konferensi Manama telah menyatakan bersikap terbuka atas proposal perdamaian yang ditawarkan AS.
Selain delegasi AS yang dipimpin Kushner dan beranggotakan Menteri Keuangan Steven Mnuchin serta perwakilan khusus AS untuk negosiasi internasional Jason Greenblatt, hadir pula dalam konferensi itu menteri keuangan dari beberapa negara Teluk.
Namun, Yordania dan Mesir telah mengirim pejabat yang kurang senior dan Lebanon serta Irak menegaskan tidak akan berpartisipasi sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina.
Skema finansial yang ditawarkan AS mengharapkan negara-negara donor serta investor untuk memberikan kontribusi senilai US$50 miliar ke Palestina, Yordania, Mesir dan Lebanon.
"Supaya jelas, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat Palestina tidak mungkin terjadi tanpa solusi politik yang adil dan berkelanjutan atas konflik ... yang menjamin keamanan Israel dan menghormati martabat rakyat Palestina. Tapi hari ini bukan tentang politik. Kita akan menuju ke sana pada waktu yang tepat," kata Kushner, suami dari Ivanka Trump.
Tidak jelas apakah pemerintahan Trump berencana meninggalkan "solusi dua negara" atau "two state solution" yang melibatkan penciptaan negara Palestina yang merdeka dan hidup berdampingan dengan Israel. PBB dan sebagian besar negara masih konsisten mendukung solusi tersebut.
Pascakeputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS ke sana, Palestina telah menolak keterlibatan AS dalam penyelesaian konflik dengan Israel, menuduh Washington condong ke Tel Aviv.
Dukungan dan penolakan
Sejumlah pebisnis, sebagaimana beberapa perusahaan di Teluk dan AS, termasuk Blackstone Group dilaporkan hadir dalam konferensi Manama. Kepala eksekutif Blackstone Group Stephen Schwarzman menilai bahwa rencana ekonomi yang dipaparkan Kushner tidak bisa diraih.
Di lain sisi, miliarder Uni Emirat Arab Mohamed Alabbar menyatakan bahwa dirinya siap berinvestasi. "Ini adalah jenis mimpi yang sangat masuk akal."
Haim Taib, presiden perusahaan pengembangan infrastruktur Mitrelli berpendapat bahwa rencana itu bisa dilakukan, namun tidak jelas bagaimana momentum dapat dipertahankan di luar konferensi tersebut.
Pebisnis lainnya yang mendukung rencana tersebut adalah Anthony Scaramucci, mantan direktur komunikasi Gedung Putih yang juga pendiri perusahaan investasi global Skybridge Capital.
"Kami pasti akan menjadi investor dalam hal ini, investor di kawasan ini," kata Scaramucci.
Lebih dari setengah dari US$50 miliar akan dihabiskan di Palestina selama 10 tahun. Sisanya akan dibagi ke Lebanon, Mesir dan Yordania, negara-negara yang menyerap banyak pengungsi Palestina.
Seorang pengusaha Palestina yang hadir dalam konferensi Manama, mengungkapkan kekecewaannya karena Kushner tidak berbuat lebih banyak untuk mengatasi situasi politik.
"Jared bukan politikus, dia pebisnis real estate," kata pengusaha yang menolak menyebutkan namanya. "Tidak bisa membuat perdamaian ekonomi saja atau perdamaian politik saja, harus keduanya sekaligus." (Reuters, BBC dan CNBC)