Otoritas Arab Saudi menangkap 11 pangeran, empat menteri dan puluhan mantan menteri lainnya atas dugaan korupsi pada Sabtu (4/11) malam. Dari jumlah tersebut, sorotan tertuju pada miliader, pangeran Alwaleed bin Talal yang turut ditangkap.
Dilansir dari New York Times, adanya penangkapan itu dianggap akan menjadi terapi kejut untuk keluarga kerajaan Arab Saudi serta pusat keuangan dunia. Terlebih Alwaleed merupakan sosok yang mengendalikan perusahaan Kingdom Holding serta menjadi salah satu orang terkaya di dunia.
Dia memiliki saham utama di News Corp, Citigroup, Twitter serta sejumlah perusahaan terkemuka lainnya. Bahkan, Alwaleed juga dikenal sebagai pengendali jaringan televisi yang ditonton warga jazirah arab. Selain itu, Alwaleed tengah gencar melakukan penawaran saham perusahaan minyak negara, Aramco ke dunia barat. Dia juga menjadi bagian dari sekelompok investor yang membeli plaza hotel serta kapal pesiar mewah milik Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Saluran televisi setempat, Al Arabiya mengungkapkan bahwa para penghuni hotel Ritz Carlton serta de facto Royal Hotel telah dievakuasi. Diduga, tempat tersebut digunakan untuk menampung para bangsawan yang ditahan. Tak hanya itu, bandara untuk pesawat pribadi ditutup dan memicu spekulasi bahwa sang putra mahkota ingin menghalangi para pengusaha kaya yang dituduh korup melarikan diri ke luar negeri.
Kampanye pembersihan diduga merupakan hasil konsolidasi antara putra mahkota, Muhammad bin Salman (32) dengan penasihat utama kerajaan. Terlebih beberapa jam sebelum penangkapan, raja Arab Saudi telah memutuskan untuk membentuk komite anti-korupsi yang baru dan dipimpin oleh sang putra mahkota.
Penangkapan tersebut kian memperlihatkan bahwa sosok berusia 32 tahun itu saat ini menjadi figur dominan dalam kebijakan militer, luar negeri, ekonomi dan sosial Arab Saudi.
Sosok Pangeran Muhammad Bin Salman sendiri cukup kontroversial. Ada yang menganggapnya haus kekuasaan dan tidak berpengalaman. Meski demikian, ia dipuji karena visinya untuk menyusun rencana melepaskan diri dari ketergantungan pada minyak.
Sementara Arab Saudi, merupakan negara yang monarki tanpa lembaga pemerintah yang independen seperti parlemen atau pengadilan. Alhasil, batas antara dana publik dengan kekayaan kerajaan cenderung bias.
Dikutip dari Reuters, Minggu (5/11), seorang ekonom di sebuah bank besar di kawasan teluk mengungkapkan, tak seorang pun di Arab Saudi percaya bahwa korupsi adalah akar dari penangkapan tersebut. "Ini tentang mengonsolidasikan keuatan dan rasa frsutasi bahwa belum terjadi reformasi yang cukup cepat,” ujar sumber yang enggan disebut namanya itu.