Kasus bocornya data pengguna Facebook telah membuat dunia bereaksi. Parlemen Eropa bahkan memanggil pemimpin Facebook Mark Zuckerberg untuk menjelaskan kasus tersebut.
Xinhua melaporkan Parlemen Eropa khawatir data yang disimpan Facebook digunakan untuk sejumlah kepentingan politik. Maka dari itu, Parlemen Eropa perlu melakukan klarifikasi langsung kepada Zuckerberg.
Diperkirakan ada sekitar 500 juta warga Eropa yang memiliki akun Facebook. Maka, raksasa media sosial asal Amerika Serikat (AS) tersebut harus menjernihkan kasus ini dan menjamin bahwa data pribadi yang disimpannya tidak digunakan untuk memanipulasi demokrasi.
Presiden Parlemen Eropa Antonio Tajani melalui twitter berjanji akan melakukan klarifikasi segera mungkin kepada Facebook. Kalau benar Facebook kedapatan melakukan manipulasi data pribadi, maka hal tersebut menjadi ancaman bagi demokrasi negara.
"Kami menunggu perwakilan Facebook untuk memberikan kesaksian soal keterbukaan dan penghormatan terhadap aturan Uni Eropa soal perlindungan data," tukas Tajani seperti dikutip Antara.
Seperti diketahui, Facebook dituduh memanen data hingga 50 juta penggunanya tanpa izin dan menggunakannya untuk membantu politisi. Termasuk untuk kampanye Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan kampanye Brexit.
Kenya pakai jasa Facebook
Salah satu partai yang mengakui telah menggunakan Facebook untuk mengetahui para pemilihnya adalah Partai Jubilee yakni partai yang berkuasa di Kenya. Partai Jubilee disebut-sebut telah membayar sebuah perusahaan jasa konsultasi yakni SCL.
SCL diketahui berafiliasi dengan Cambridge Analytica dan telah membantu Donald Trump pada pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016. Diduga SCL bersama Cambridge Analytica menjalankan kampanye Presiden Kenya Uhuru Kenyatta dalam pemilihan umum pada 2013 dan 2017.
Pemilihan umum Kenya pada tahun lalu diwarnai peristiwa perpecahan suku. Peristiwa tersebut menelan korban hingga 100 orang.
Wakil Ketua Partai Jubilee David Murathe tidak merinci yang dilakukan oleh SCL atau Cambridge Analytica dalam pemilu Kenya. Seperti diketahui, Kenyatta mulai berkuasa pada 2013 dan memenangkan masa jabatan kedua dan terakhir Agustus lalu.
Di Kenya, situasi pun memanas. Oposisi Kenya marah terhadap laporan keterlibatan Cambridge Analytica dalam pemilu Kenya.
"Mereka menggunakan propaganda di AS dengan di Kenya. Cambridge Analytica sekarang menjadi seorang propagandis internasional," cetus Junet Mohamed, anggota parlemen untuk partai ODM Odinga dan direktur pemilihan umum seperti dikutip Antara.
Senator Jubilee Kipchumba Murkomen angkat suara dan membantah pengaruh asing pada pemilihan tersebut. Bahkan Murkomen mengatakan bahwa media sosial tidak memiliki pengaruh marjinal di Kenya. Sebaliknya, media yang berpengaruh di Kenya adalah radio.
Sebelumnya, Cambridge Analytica membantah semua tuduhan yang dibuat oleh Channel 4 News yang membeberkan bahwa kebocoran data Facebook tersebut. Perusahaan berbasis di London menyebut bahwa pihaknya melontarkan candaan kepada wartawan yang menanyakan soal kerjasama dengan Facebook.
Cambridge Analytica kemudian berkilah bahwa motifnya membeberkan penyalahgunaan Facebook untuk mengukur sentimen publik. Plus, untuk mengetahui apakah tindakan tersebut tidak etis atau ilegal.
Celakanya, bocoran Cambridge Analytica tersebut justru membawa senjata makan tuan. Kini perusahaan jasa konsultasi sedang menghadapi penyelidikan dari otoritas negara bagian Amerika Serikat. Apalagi seorang pengungkap fakta mengungkapkan bahwa perusahaan jasa tersebut telah memanen informasi pribadi jutaan orang untuk mendukung upaya presiden Trump.