Partai anti-Islam Denmark ikut pemilu untuk pertama kali
Tahun lalu, putra Christian Hansen yang berusia 10 tahun menanyakan tentang sosok Rasmus Paludan sepulangnya dia dari sekolah.
"Dia menceritakan kepada saya bahwa murid-murid memainkan 'permainan Paludan' di halaman sekolah, membagi diri mereka menjadi kelompok Kristen, Yahudi dan muslim. Kelompok Kristen kemudian harus menangkap kelompok Yahudi dan muslim serta menempatkan mereka di kandang imajinatif lalu menghina mereka," tutur Hansen, seorang pemilik perusahaan perangkat lunak di selatan Denmark.
Hansen khawatir bahwa pesan Paludan telah diserap oleh putranya melalui media sosial. "Ini sangat berbahaya," katanya. "Karena pandangannya yang penuh kebencian menjadi bagian dari pemahaman awal anak-anak tentang minoritas."
Sejak mendirikan partainya pada Juli 2017, politikus sayap kanan Rasmus Paludan, kian terkenal setelah membakar salinan Alquran.
Kepada pendukungnya, Paludan mengatakan Denmark adalah untuk etnis Denmark, bahwa dia ingin mendeportasi lebih dari 300.000 muslim di negara itu dan melarang Islam. Paludan bahkan memperingatkan bahwa perang saudara akan datang.
Partai Garis Keras pimpinan Paludan akan berpartisipasi dalam pemilu 5 Juni setelah mereka berhasil mengumpulkan sekitar 20.000 tanda tangan pemilih yang diperlukan untuk mengikuti pemilihan.
Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen mengutuk pembakaran Alquran. Di Twitter dia menulis bahwa provokasi tersebut tidak memiliki tujuan selain memicu perpecahan.
Para pengamat mengatakan bahwa munculnya dua partai sayap kanan baru di Denmark, yaitu Garis Keras dan Kanan Baru, dapat membahayakan peluang Rasmussen dengan aliansi tengah-kanan untuk terpilih kembali.
Sejumlah politikus senior telah memperingatkan bahwa pembakaran Alquran oleh Paludan dapat digunakan untuk membangkitkan kebencian terhadap negara.
Dalam sebuah demonstrasi pada Oktober 2016, Paludan menggemakan frasa "sungai darah" yang dicetuskan Enoch Powell asal Inggris, seorang politikus Konservatif yang berdemonstrasi menentang imigrasi 50 tahun lalu.
"Jalan-jalan dan selat-selat akan berubah menjadi sungai darah," kata Paludan. "Dan darah asing akan berakhir di selokan, tempat para musuh asing berada."
Dalam sebuah video pada Desember 2018 Paludan mengatakan, "Hal terbaik adalah jika tidak ada satu pun muslim yang tersisa di bumi ini. Saya berharap itu akan terjadi suatu hari nanti. Kemudian kita akan mencapai tujuan akhir kita."
Sebelumnya, popularitas Paludan terbatas pada orang-orang yang mengikuti akun YouTube dan Snapchat-nya. Tetapi dalam beberapa minggu terakhir ketenarannya telah meningkat.
Orang-orang Denmark dari segala usia telah berswafoto dengan Paludan seraya berpose victory.
"Kami melihat peningkatan kebijakan dan retorika di sekitar muslim sejak pemimpin Partai Rakyat Denmark Pia Kjaersgaard, yang sekarang menjadi ketua parlemen, mendeklarasikan perang terhadap Islam pada 2001," kata pengamat politik Tarek Ghanoum (27). "Dengan munculnya para pemain baru anti-muslim ini, saya pikir banyak muslim telah mempertimbangkan apakah layak untuk tetap berada di sini ... jika perkembangan itu terus berlanjut."
Ghanoum menambahkan, "Garis Keras dan Kanan Baru adalah pihak-pihak yang telah membentuk identitas mereka semata-mata untuk menyerang muslim. Lupakan tentang iklim, ekonomi dan perawatan orang tua, itu semua adalah isu kecil bagi mereka. Ini semua tentang muslim, migran dan keturunan mereka."
Kontroversial
Tragedi pembakaran salinan Alquran terjadi pada 14 April lalu di jantung Blagards Plads, sebuah daerah yang menjadi rumah bagi banyak muslim. Sebelumnya pada bulan yang sama, Paludan dihukum karena rasisme setelah dia menyatakan bahwa orang-orang Afrika kurang cerdas.
Paludan dilaporkan melempar Alquran ke udara, membiarkannya jatuh ke tanah sebelum akhirnya membakar kitab suci umat Islam itu dengan bacon.
Pada hari yang sama pula, unjuk rasa digelar do Norrebro untuk memprotes perilaku Paludan. Mobil, ban dan kontainer limbah dibakar di jalan-jalan. Satu orang terluka dan 23 ditangkap dalam peristiwa itu.
Polisi melawan pemrotes dengan pentungan dan gas air mata sementara Paludan dievakuasi.
Ketenaran Paludan melonjak setelah insiden itu dan dalam waktu singkat dia berhasil mengumpulkan dukungan yang diperlukan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan.
"Kami telah melihat proses normalisasi dalam wacana negatif tentang muslim sejak tahun 2001. Ada fokus pada Islam, bahkan di kalangan politikus arus utama, sebagai sesuatu yang negatif dan non-Denmark. Sampai batas tertentu, Paludan merupakan kelanjutan dari tren ini," kata Garbi Schmidt, seorang profesor di Roskilde University.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kanan-tengah, dengan dukungan dari Partai Rakyat Denmark yang berhaluan sayap kanan, telah memperkenalkan serangkaian langkah-langkah yang berdampak pada umat Islam, yang merupakan 5,5% dari populasi Denmark.
Mei lalu, Denmark bergabung dengan beberapa negara Eropa lainnya dalam melarang cadar di ruang publik.
Pada Juli tahun lalu, pemerintah menetapkan undang-undang pidana yang lebih ketat untuk orang-orang yang tinggal di "ghetto", distrik yang lebih miskin di Denmark, dan memberlakukan kelas Denmark pada anak-anak di sana, di mana mereka diajari "nilai" Denmark.
Pada Desember, pemerintah menyetujui rencana untuk mengirim migran yang tidak diinginkan ke sebuah pulau.
"Telah ada pergantian signifikan ke kanan di segmen besar publik Denmark. Dengan demikian perdebatan tentang 'orang asing' telah menjadi cara mudah bagi politikus untuk mendapatkan popularitas. Alih-alih membahas isu-isu kompleks seperti ketimpangan, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, banyak partai arus utama telah memilih solusi termudah," kata Schmidt.
Menurut jajak pendapat baru-baru ini, partai Paludan diprediksi mengamankan enam kursi di parlemen dengan perolehan 3,3% suara. Kanan Baru diramalkan mendapat lima kursi.
Sementara itu, Paludan terus memprovokasi. Pada demonstrasi 1 Mei, dia dilindungi oleh puluhan petugas polisi. Kerumunan besar pendukung dan penentang muncul.
"Tidak semua perkere (sebutan penghinaan yang bagi para imigran) buruk, tetapi saya setuju bahwa sebagian besar dari mereka harus dikeluarkan," kata Sofus Andersen, seorang pengangguran 20 tahun, pendukung Garis Keras.
Di lain sisi, seorang pria Yahudi yang sudah lanjut usia memandang dengan prihatin.
"Saya dulunya adalah tukang cukur Paludan selama bertahun-tahun. Dia adalah seorang pemuda yang sangat cerdas dan kami melakukan banyak diskusi politik, tetapi saya terkejut bahwa dia akhirnya menjadi sangat radikal," kata pria yang menolak menyebut identitasnya itu. "Beginilah kebangkitan fasisme dimulai."