close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dalam konferensi pers di London, Jumat (29/11). ANTARA FOTO/REUTERS/Peter Nicholls
icon caption
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dalam konferensi pers di London, Jumat (29/11). ANTARA FOTO/REUTERS/Peter Nicholls
Dunia
Jumat, 13 Desember 2019 11:06

Partai Konservatif unggul di Pemilu Inggris

Jika exit poll akurat maka artinya mayoritas rakyat Inggris mendukung upaya PM Johnson mewujudkan Brexit pada 31 Januari 2020.
swipe

Partai Konservatif yang dipimpin oleh Perdana Menteri Boris Johnson diprediksi akan meraih kemenangan dalam Pemilu 2019. Hal itu berarti mayoritas rakyat Inggris mendukung upaya Johnson mewujudkan Brexit pada 31 Januari 2020.

Pria berusia 55 tahun itu tidak hanya harus mewujudkan Brexit, tetapi juga meyakinkan warga Inggris bahwa cerai dari Uni Eropa akan berdampak baik bagi negara itu.

Kemenangan Konservatif akan menandai kegagalan oposisi pemerintah yang berencana membatalkan Referendum 2016 atau pemungutan suara Brexit melalui pertarungan legistlatif di parlemen.

Exit poll menunjukkan, Konservatif memenangi 368 kursi, lebih dari cukup untuk meraih mayoritas dalam parlemen yang memiliki 650 kursi secara total.

"Kalau kita beruntung, besok kita akan mulai bekerja kembali," ujar PM Johnson dalam pernyataannya.

Oposisi Partai Buruh diperkirakan akan memenangi 191 kursi, hasil pemilu terburuk bagi partai tersebut sejak 1935. Akibat prediksi akan menghadapi kekalahan telak, muncul seruan agar Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn mundur.

Anggota partai, Gareth Snell, menegaskan bahwa melihat buruknya prediksi kekalahan Buruh dalam pemilu, sudah waktunya bagi Corbyn untuk angkat kaki.

"Para pemilih memiliki persepsi bahwa Partai Buruh berusaha menghalangi terwujudnya Brexit," kata Snell. 

Jika exit poll akurat, Johnson akan segera menghadap parlemen untuk meratifikasi kesepakatan Brexit yang dia buat dengan Uni Eropa.

Namun, setelah Johnson berhasil meloloskan kesepakatan Brexit miliknya, dia masih menghadapi tantangan besar untuk mencapai kesepakatan perdagangan internasional baru. Dia perlu mempertahankan posisi London sebagai salah satu pusat keuangan global.

Mantan anggota Partai Konservatif George Osborne menanggapi hasil exit poll dengan menyatakan bahwa Inggris, "Telah memasuki era politik Boris Johnson".

Brexit yang tak kunjung kelar

Setelah hampir empat tahun perdebatan mengenai Brexit yang membawa Inggris dalam kekacauan politik, Johnson berharap akan mendapatkan dukungan parlemen untuk memimpin Inggris keluar dari Uni Eropa.

Namun, Brexit masih jauh dari selesai. Johnson menghadapi tugas yang berat untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa.

Hasil dari negosiasi perdagangan tersebut akan membentuk masa depan ekonomi Inggris yang bernilai US$2,7 triliun. Setelah tenggat Brexit pada akhir Januari 2020, Inggris akan memasuki masa transisi di mana mereka akan merundingkan hubungan baru dengan 27 negara anggota Uni Eropa.

Proses perundingan tersebut dapat berjalan hingga akhir Desember 2022. Namun, Konservatif telah berjanji tidak akan memperpanjang periode transisi melebihi 2020.

Johnson menyerukan pemilu awal untuk memecahkan apa yang dia sebut sebagai kelumpuhan sistem politik Inggris setelah lebih dari tiga tahun krisis tentang bagaimana, kapan, hingga apakah negara itu benar-benar akan cerai dari Uni Eropa.

Sebagai salah satu pencetus Referendum 2016, pada pemilu kali ini, Johnson berkampanye dengan slogan "Get Brexit Done". Dia bersumpah akan mengakhiri kebuntuan politik Inggris.

Brexit menjadi isu hangat yang membayangi pemilu. Lambatnya proses perceraian Inggris dari Uni Eropa telah membuat banyak pemilih lelah dan marah, mengikis loyalitas mereka bagi dua partai besar yakni Konservatif dan Buruh.

img
Valerie Dante
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan