Paspor vaksinasi penyakit menular, dari pes hingga demam kuning
Wacana menerapkan paspor atau sertifikat vaksinasi Covid-19 mengemuka, seiring ketersediaan vaksin. Dokumen vaksinasi itu akan memungkinkan para pelancong melewati karantina atau pengujian diagnosa, sebelum kedatangan ke negara lain.
Antara, 1 April 2021 menyebut, paspor berbentuk digital, mirip boarding pass maskapai penerbangan, dengan kode yang bisa dipindai melalui ponsel pintar atau dicetak.
Bahkan, beberapa negara sudah siap menerapkan paspor vaksin Covid-19. Menurut Preeti Verma Lal dalam “Vaccine Passport: How to apply, the different types, countries you can travel and more” di moneycontrol.com, 6 Februari 2021, Islandia sudah menerbitkan sertifikat vaksinasi pada Februari 2021.
“Orang-orang yang bisa menunjukkan sertifikat tersebut akan dibebaskan dari karantina perbatasan dan tak diwajibkan menjalani pemeriksaan,” tulis Verma Lal.
Siprus menyatakan, pada Maret 2021 otoritas perbatasan mengizinkan masuk siapa pun yang bisa menunjukkan bukti vaksinasi. Israel, yang sudah menyuntik hingga 200.000 orang per hari, 70% di antaranya berusia di atas 60 tahun, terlebih dahulu meluncurkan green pass. Paspor ini memungkinkan orang yang sudah disuntik vaksin Covid-19 bisa bepergian dan menghadiri pertemuan dalam jumlah besar.
“Paspor tersedia di aplikasi smartphone, pengenalan suara interaktif, atau bisa dicetak,” tulis Verma Lal.
Prancis menjadi negara pertama di Eropa yang menerapkan sistem paspor vaksin Covid-19. Dilaporkan RT, Selasa (20/4), aplikasi TousAntiCovid dijadwalkan memulai debut pada Kamis (22/4). Aplikasi ini berfungsi sebagai kerangka kerja untuk program pelacakan kontak dan paspor “kekebalan”.
Gagal di India, dipalsukan di Amerika
Gagasan paspor vaksin penyakit penular bukan hal baru. Pada 1890-an di British-India—India di bawah kolonial Inggris—sudah ada perdebatan terkait sertifikat vaksinasi.
Ketika itu, menurut Scottie Andrew dalam artikel “The vaccine passport debate isn’t new. It started in 1897 during a plague pandemic” di CNN edisi 15 April 2021, India dihantam wabah pes. Lalu, seorang pakar bakteri dari Kekaisaran Rusia, Waldemar Haffkine diminta Pemerintah British India membantu mencegah menyebaran wabah.
Haffkine pun berhasil menemukan vaksin pes. Pemerintah British India lalu menerapkan serangkaian tindakan dalam usaha menghentikan penyebaran wabah pes. Salah satunya mewajibkan para pelancong memiliki bukti sudah divaksinasi.
“Dokumen semacam itu akan memungkinkan si pembawa untuk bepergian dengan bebas ke seluruh negeri,” tulis Yashi Gupta dalam artikel “Backstory: When India rejecten vaccine passports in the 1890s” di CNBCtv18, 21 April 2021.
Namun, penduduk memandang, sertifikat vaksinasi yang dikeluarkan pemerintah kolonial Inggris sebagai tindakan invasif, yang bertujuan membatasi perjalanan dan mengontrol pergerakan warga.
Setelah itu, pemerintah kolonial Inggris menerbitkan Undang-Undang Penyakit Epidemi. Aturan itu, tulis Gupta, memberkan mandat kepada otoritas kesehatan untuk melakukan tindakan demi menekan kasus pes.
Otoritas kesehatan memaksa pasien pes keluar dan membakar rumahnya yang dipenuhi tikus. Mereka pun diwajibkan membawa serifikat vaksinasi.
Kebijakan ini memicu gelombang protes. Kerusuhan sipil pun pecah. Penduduk kemudian pergi ke beberapa daerah, yang kurang mendapat perhatian pemerintah.
“Meskipun sertifikat itu wajib, penegakannya lemah. Banyaknya orang yang pindah di dalam negeri membuat tindakan tersebut tidak efektif,” tulis Gupta.
Setelah itu, pemerintah kolonial Inggris memusatkan perhatian ke situs ziarah. Menurut profesor sejarah dari University of York Inggris, Sanjoy Bhattacharya, seperti dikutip dari artikel Fran Kritz “The vaccine passport debate actually began in 1897 over a plague vaccine” di NPR, 8 April 2021, yang menjadi perhatian utama adalah situs ziarah Hindu dan Muslim, yang dianggap sebagai lokasi pusat wabah penyakit menular.
Bhattacharya, seperti dikutip dari artikel Kritz, menyebut bahwa ziarah tahunan ke Kota Pandharpur di provinsi kolonial Bombay adalah contoh yang bagus. Ketika itu, pihak berwenang mewajibkan bukti vaksinasi bagi para peziarah, setelah negosiasi yang intensif dengan pemerintah, perusahaan kereta api, perhotelan, perwakilan peziarah, dan otoritas kuil.
Situasi serupa terjadi di Amerika Serikat pada 1800-an. Ketika itu, Amerika dihantam wabah cacar yang gawat.
Menurut Dave Roos dalam artikel “The first vaccine passports were scars from smallpox vaccinations” di History, 9 April 2021, dari 1899 hingga 1904 terkonfirmasi 164.283 kasus cacar di Amerika. Namun, sebut Roos, angka yang sesungguhnya kemungkinan lima kali lebih tinggi.
Demi mencegah penyebaran cacar, pemerintah menerapkan paspor vaksinasi untuk para pelancong. Menurut Jordan E. Taylor dalam artikel “The U.S. has had vaccine passports before—and they worked” di TIME edisi 5 April 2021, akhir abad ke-19 pejabat perbatasan Amerika Serikat meminta pelancong menunjukkan bukti kalau mereka sudah menerima vaksin cacar.
Di beberapa negara bagian yang kasus cacarnya parah, tulis Roos, sertifikat vaksinasi diwajibkan untuk pergi bekerja, sekolah, perjalanan kereta api, atau menonton bioskop.
Akan tetapi, sertifikat vaksinasi kemudian dievaluasi karena beberapa aktivis antivaksin memalsukannya untuk menghindar dari pemeriksaan otoritas kesehatan.
Sertifikat vaksinasi itu pun dianggap gagal. Pada 1901, tulis Roos, seorang dokter bernama James Hyde dari Rush Medical College di Chicago mengusulkan menggunakan bekas luka vaksinasi sebagai satu-satunya “paspor” bagi warga.
“Di sekolah, pabrik, gedung pemerintahan, serta di atas kapal imigran yang tiba di pelabuhan masuk Amerika Serikat, mereka yang tak bisa menunjukkan bekas luka vaksin akan divaksinasi di tempat,” tulis Roos.
Taylor menulis, vaksin cacar pertama diperkenalkan di dunia Barat pada abad ke-18. Vaksin itu diberikan bukan dengan jarum suntik, tetapi dengan menggoreskan bahan pustular di lengan seseorang, yang akan menyebabkan luka lepuh. Tinggalan bekas luka yang khas itu menjadi “dokumentasi” vaksinasi.
Namun, kebijakan ini pun berusaha dimanipulasi. Beberapa orang Amerika memalsukan bekas vaksinasi, dengan cara memaparkan asam nitrat ke kulit untuk menghasilkan keropeng.
Demam kuning hingga Covid-19
Kebutuhan memberikan bukti vaksinasi semakin meningkat setelah diperkenalkannya perjalanan udara pada abad ke-20. Pada Agustus 1935 diberlakukan sertifikat internasional inokulasi dan vaksinasi oleh International Sanitary Convention for Aerial Navigation, yang bermarkas di Den Haag, Belanda.
Setelah diamandemen pada 1944, selain sertifikat kesehatan pribadi, pesawat udara, dan maritim, ditetapkan lima sertifikat, yakni sertifikat internasional inokulasi kolera, inokulasi demam kuning, kekebalan terhadap demam kuning, inokulasi tifus, dan vaksinasi cacar.
Hingga kini, satu-satunya versi paspor vaksinasi yang diterapkan World Health Organization (WHO) adalah kartu kuning, yang merupakan bukti vaksinasi demam kuning. Kartu kuning diwajibkan beberapa negara untuk mencegah penularan.
“Ini satu-satunya penyakit yang secara khusus disebut dalam peraturan kesehatan internasional WHO, meskipun beberapa negara menetapkan persyaratan vaksinasi masing-masing,” tulis Scotte Andrew di CNN, 15 April 2021.
Menurut Michael Petraeus dalam artikel “Vaccine Passports Are Nothing New - They Have Been Saving Lives For 85 Years” yang terbit di Vulcan Post, 6 April 2021, selain demam kuning, beberapa negara juga menerapkan bukti vaksinasi untuk penyakit polio dan meningitis meningokokus.
Petraeus menyebut, saat ini ada 42 negara yang masuk dalam klasifikasi berisiko demam kuning. Sebanyak 127 negara mewajibkan vaksinasi untuk penyakit itu, bila ingin pergi atau datang dari negara berisiko tinggi tadi.
Terkait paspor vaksinasi Covid-19, sejauh ini WHO tidak memberikan dukungan. Dilansir dari Antara edisi 10 April 2021, pada Selasa (6/4) juru bicara WHO Margaret Harris mengaku khawatir dengan diskriminasi akibat adanya paspor vaksin.
Selain diskriminasi terhadap orang-orang yang tak bisa dapat vaksin karena berbagai alasan, Harris mengatakan, ada dugaan negara-negara kaya punya lebih banyak akses ke vaksinasi.
Pada Maret 2021, sebuah makalah penelitian yang terbit di jurnal Lancet menulis, kegagalan untuk membuat sistem seragam paspor vaksinasi untuk mengatur pergerakan lintas batas, bisa meningkatkan konflik diplomatik dan memperlebar jurang pemisah antara negara kaya dan miskin.
Menurut Mira Patel dalam “From smallpox to Covid-19: The history of vaccine passports and how it impacts international relations” yang terbit di The Indian Express, 15 April 2021, akses vaksin di seluruh dunia juga terbatas, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah.
Patel mengutip makalah WHO, yang menguraikan pertimbangan selanjutnya, yakni dalam konteks distribusi vaksin yang tak merata, individu yang tak punya akses vaksinasi Covid-19 secara tak adil akan dihalangi dalam kebebasan bergerak, jika bukti vaksinasi menjadi wajib untuk masuk atau keluar sebuah negara.
“Bahkan, di dalam sebuah negara, kelompok tertentu diprioritaskan di atas yang lain. Masyarakat berpenghasilan rendah, penduduk perdesaan, kelompok marginal, dan orang yang lebih muda cenderung tak divaksinasi,” tulis Patel.