Pasukan "TikTok" Chechnya di pusaran konflik Rusia-Ukraina
Dua hari setelah invasi pasukan Rusia ke Ukraina, Presiden Republik Chechnya, Ramzan Kadyrov mengumumkan turut menerjunkan ribuan prajuritnya untuk bertempur di Ukraina. Sebagaimana Presiden Rusia Vladimir Putin, Kadyrov kala itu sesumbar Ukraina bakal takluk dalam hitungan hari.
"Hingga kini, belum ada satu prajurit pun yang terluka. Tak satu pun yang hidungnya bengkok. Presiden (Putin) mengambil kebijakan yang tepat dan kami siap menjalankan perintahnya dalam situasi apa pun," kata Kadyrov dalam sebuah video yang beredar pada pengujung Februari 2022.
Kala itu, Kadyrov muncul ke publik demi menepis laporan sejumlah media Ukraina yang memberitakan unit-unit pasukan Chechya sukses disergap militer Ukraina. Beberapa hari berselang, Kadyrov akhirnya mengakui sejumlah personel militer Chechnya tewas dan luka-luka. Via Telegram, ia meminta Putin "ngebut."
"Saya meyakini sebuah instruksi baru dibutuhkan dengan segera. Invasi untuk menghancurkan kaum Nazi dan kelompok teroris ini skalanya perlu diperluas," ujar Kadyrov, mengulang klaim para petinggi Rusia tentang orang-orang Ukraina yang dikuasai Nazi dan teroris.
Ketika itu, Putin memang terkesan berhati-hati. Berharap bakal menang cepat, Putin hanya menerjunkan pasukan militer Rusia dan sekelompok tentara bayaran. Belum ada mobilisasi massal dan gelaran wajib militer untuk menambah jumlah prajurit di medan perang.
Kadyrov terang-terangan menyokong Rusia dalam perang tersebut. Ia rutin muncul ke ruang publik untuk mempropagandakan "kesuksesan-kesuksesan" militer Rusia dalam invasi. Pada 14 Maret 2022, Kadyrov juga sempat muncul dalam sebuah video dan mengklaim tengah berada di Hostomel, Ukraina, untuk terlibat langsung dalam perang.
Namun, klaim itu dimentahkan Ukrayinska Pravda, sebuah media daring di Ukraina. Ukrayinska Pravda melacak alamat IP telepon seluler Kadyrov. Mereka menemuka Kadyrov masih berada di Grozny, ibu kota Chechnya. Dmitry Peskov, sekretaris bidang pers Putin, buru-buru mengklarifikasi. "Kadyrov tak pernah secara langsung mengklaim dia berada di Ukraina," ujar Peskov.
Sebuah laporan mengindikasikan sebanyak 9.000 prajurit Chechnya diterjunkan pada awal invasi. Seiring waktu, jumlahnya terus membengkak. Pada Juni 2022, Kadyrov mengumumkan pembentukan empat batalion baru untuk diterjunkan ke Ukraina.
"Kontingen militer ini hanya akan terdiri dari orang-orang Chechnya saja. Mereka akan menyegarkan komposisi pasukan yang dikirim federasi Rusia," kata Kadyrov. Ia juga sempat menyebut pembicaraan damai bakal sia-sia.
Empat bulan berselang, Kadyrov kembali mengirimkan dua batalion tambahan lagi. Tak tanggung-tanggung, Kadyrov juga menerjunkan tiga putranya--Adam, Eli, dan Akhmat--ke medan tempur. Eli dan Akhmat masih berusia 15 tahun.
"Usia muda tak seharusnya menghalangi proses pelatihan para penjaga tanah air kita... Sudah saatnya mereka unjuk diri di medan tempur sebenarnya. Saya hanya mengabulkan hasrat mereka," ujar Kadyrov dalam sebuah unggahan di VK, media sosial Rusia.
Hingga akhir 2022, setidaknya ada 21 ribu prajurit Chechnya yang dirotasi untuk menyokong operasi-operasi militer Rusia di negara itu. Meski didukung penuh oleh militer Chechnya, Rusia tak juga menaklukkan Ukraina. Sejumlah kota yang sempat dikuasai Rusia bahkan kini telah kembali pindah tangan.
Awal Februari lalu, Kadyrov kembali sesumbar. Meski Ukraina kini telah disokong Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, ia menyebut akhir perang sudah dekat.
"Barat bakal bertekuk lutut dan seperti biasa negara-negara Eropa bakal harus bekerja sama dengan federasi Rusia di semua area. Tidak akan ada dan tidak boleh ada opsi lain selain itu," kata Kadyrov seperti dikutip dari Newsweek.
Relasi klan Kadyrov dan Rusia
Sebelum jadi Presiden Chechnya, Kadyrov ialah mantan perwira berpangkat kolonel di militer Rusia. Ia kerap mengibaratkan dirinya sebagai "prajurit infanteri Putin". Selain di Ukraina, Kadyrov juga terekam membantu operasi militer di Suriah dan Georgia.
Kini berusia 46 tahun, Kadyrov ialah putra dari Akhmad Kadyrov, loyalis Dzhokhar Musayevich Dudayev, penguasa Chechnya pertama setelah Uni Soviet bubar pada awal 1990. Pada Perang Chechnya I (1994-1996), Akhmad turut mengangkat senjata untuk menghalau invasi Rusia di negaranya.
Perang Chechnya I dimenangi oleh kaum milisi pimpinan Dudayev, Aslan Maskhadov, dan Akhmad. Boris Yeltsin, Presiden Rusia ketika itu, memilih berdamai setelah publik Rusia memprotes jatuhnya ribuan prajurit dalam perang tersebut. Selepas perang, Akhmad diangkat sebagai kepala kaum mufti Chechnya.
Rusia, di bawah kendali Putin, kembali mencoba peruntungannya di Chechnya pada Agustus 1999. Selain karena serangan-serangan bom bunuh diri yang rutin digelar gerilyawan Chechnya di berbagai kota di Rusia, invasi kedua itu dipicu penculikan jenderal Gennady Shpigun, perwakilan Kremlin yang dikirim ke Grozny, beberapa bulan sebelumnya.
Pada awal invansi, Akhmad mengutuk operasi militer Rusia. Dalam sebuah video, ia bahkan sempat berjanji bertempur hingga titik darah penghabisan. Namun, ia membelot. Akhmad terekam menggelar pertemuan rahasia dengan Putin. Tak lama setelah itu, Akhmad menyatakan dukungan terhadap invasi Rusia.
Perang Chechnya II tak berlangsung lama. Setelah membumihanguskan Grozny, militer Rusia sukses menguasai Chechnya pada Juni 2000. Akhmad ditunjuk Putin sebagai kepala administrasi Chechnya. Dalam pemilu yang dilaporkan sarat kecurangan, Akhmad terpilih jadi Presiden Chechnya pada Oktober 2003.
Oleh sebagian besar orang Chechnya, Akhmad dianggap sebagai pengkhianat. Pada Mei 2004, setelah belasan percobaan pembunuhan, Akhmad akhirnya tewas dalam peristiwa ledakan bom di stadion sepak bola Dinamo, Grozny.
Pada Perang Chechnya I, Akhmad didaulat sebagai komandan sebuah unit milisi bernama Kadyrovite. Saat menjabat sebagai presiden, Kadyrovite beralih fungsi menjadi pasukan keamanan Akhmad. Sepeninggal Akhmad, Kadyrovite jatuh ke tangan Kadyrov. Kadyrovite kini juga lazim jadi sebutan untuk prajurit Chechnya.
Sehari setelah ayahnya dibunuh, Kadyrov diangkat menjadi deputi Perdana Menteri Chechnya. Tak lama setelah pemakaman sang ayah, Kadyrov diundang Putin ke Kremlin. Dalam sebuah wawancara televisi, Kadyrov mengungkap Putin benar-benar terpukul karena kematian Akhmad.
"Dia menganggap ayah saya sebagai seorang sahabat, sebagai sesama kamerad dalam perang, yang bisa diandalkan. Itu kata-kata dia. Saya memintanya untuk memberikan kesempatan untuk melanjutkan perang terhadap teroris, kaum teroris dan ekstremis... Dan, dia menjanjikan itu," tutur Kadyrov.
Setahun setelah pertemuan itu, Kadyrov "naik kelas" jadi pelaksana tugas perdana menteri. Pada 15 Februari 2007, tepat ketika Kadyrov berusia 30 tahun, Putin mengeluarkan dekrit untuk mengangkat Kadyrov sebagai pelaksana tugas Presiden Chechnya.
Dalam "The Unstoppable Rise Of Ramzan Kadyrov" yang tayang di RFERL, Liz Fuller menyebut Putin memang berniat mempertahankan kuasa klan Kadyrov di Chechnya. Salah satu bukti gamblangnya ialah gelontoran dana dari Kremlin untuk rekonstruksi Chechnya. Dana itu dikendalikan langsung oleh Kadyrov.
"Putin memberikan Kadyrov blangko mandat untuk melakukan apa pun yang dia rasa perlu guna membasmi perlawanan pemberontak dan menundukkan populasi Chechnya... Rusia bahkan tutup mata ketika tahu Kadyrov mengalihkan sebagian besar anggaran itu untuk kepentingan personalnya," tulis Liz.
Putin sendiri tak malu-malu mengakui kedekatannya dengan Kadyrov. Dalam sebuah wawancara televisi, mantan eks agen Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) itu mengatakan ia telah menganggap Kadyrov sebagai anak sendiri.
"Selama beberapa tahun terakhir, kami telah membangun hubungan personal, persahabatan, dan saya yakin ini punya peran penting bagi bangsa Chechnya dan Rusia. Tepatnya karena ini dan posisinya (Kadyrov sebagai presiden), Chechnya bisa keluar dari perang (sipil)," ujar Putin.
Dalam "Inside Russia’s Imperial Relations: The Social Constitution of Putin-Kadyrov Patronage", Julie Wilhelmsen menulis hubungan Putin dan Kadyrov bernuansa simbiosis mutualisme. Selain duit, Putin mengirimkan senjata dan menganugerahkan beragam gelar kepahlawanan bagi Kadyrov. Kadyrov membalas dengan mengerahkan pasukan pribadinya untuk beragam kepentingan Putin dan Rusia.
"Jasa penggunaan pasukan pribadi Kadyrov telah ditawarkan di luar perbatasan Chechnya dan demi pertahanan Rusia. Pada Perang Rusia-Georgia 2008, ribuan prajurit Chechnya diterjunkan sebagai penjaga perbatasan dan bertempur di sisi militer Rusia," jelas Julie.
Bagi Kadyrovite, medan tempur Ukraina tak lagi asing. Pada 2014, Kadyrovite turut berperan dalam aneksasi Semenanjung Krimea. Ketika itu, Kadyrov menerjunkan sekitar 20 ribu prajurit Chechnya untuk membantu operasi militer Rusia.
Brutal dan "kotor"
Jean-Francois Ratelle, pakar konflik Chechnya dari University of Ottawa, AS, menilai kehadiran Kadyrovite di pusaran perang Rusia-Ukraina menunjukkan Chechnya telah sepenuhnya dikendalikan Putin. Meski jumlahnya lumayan besar, Ratelle menyebut Kadyrovite tak signifikan memengaruhi jalannya pertempuran.
“Mereka bukan pasukan elite. Mereka utamanya digunakan sebagai pasukan kelas rendah. Lebih mudah bagi prajurit Chechnya untuk tewas dalam perang ketimbang Rusia. Mereka diperlakukan seperti umpan meriam," kata Ratelle seperti dikutip dari Euronews.
Kadyrovite bukannya tak punya peran. Ratelle menyebut pasukan pribadi Kadyrov itu kerap diterjunkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor yang tak bisa dilakukan militer Rusia, semisal menyiksa tawanan perang dan menjarah permukiman warga.
"Mereka diberikan misi untuk melanggar hukum perang. Mereka punya tendensi untuk bertindak layaknya kelompok kriminal ketimbang pasukan militer," ujar Ratelle.
Pada Maret 2022, Times melaporkan sebuah unit pasukan Chechnya diterjunkan untuk menginfiltrasi Kiev. Mereka diberi misi untuk membunuh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Namun, operasi rahasia itu gagal setelah dibocorkan kelompok antiperang di Federal Security Service (FSS) Rusia.
Pada awal invasi, Kadyrovite jadi alat propaganda Rusia. Kehadiran pasukan brutal itu digembar-gemborkan untuk menghancurkan moral penduduk dan militer Ukraina. Namun, misi itu gagal setelah Kiev tak kunjung bisa ditaklukkan Rusia.
Harold Chambers, analis dari Foreign Policy Research Institute, menyebut pasukan Chechnya bak prajurit Tik-Tok dan Instagram. Pasalnya, mereka terlihat jauh lebih aktif di media sosial ketimbang dalam operasi militer.
"Mereka lebih dikenal seperti para pejuang Instagram ketimbang pasukan khusus yang menakutkan. Kinerja mereka lebih baik di media sosial ketimbang saat bertempur," ujar Chambers.
Ada kalanya eksistensi Kadyrovite di media sosial itu membawa bencana. Chambers mencontohkan bagaimana sebuah unggahan salah satu putra Kadyrov di Telegram ketika berkeliling Ukraina jadi bahan informasi intelijen bagi militer Ukraina.
"Karena banyaknya unggahan mereka di media sosial, ada beragam isu keamanan yang muncul sehingga membuat pasukan Ukraina bisa menentukan lokasi dan mengebom basis-basis pertahanan Rusia, membunuh prajurit-prajurit mereka," jelas Chambers.
Chechnya tak hanya berpihak pada Rusia saja. Sejak 2014, kelompok milisi Chechnya pro-Ukraina juga telah dibentuk dan bertempur di sejumlah kota di Ukraina, semisal Dzhokhar Dudayev Battalion dan Sheikh Mansur Battalion. Namun, jumlah personelnya hanya ratusan.
Chambers menyebut perang Rusia-Ukraina berkelindan dengan tujuan politik kelompok-kelompok itu. "Yang pertama dalam benak mereka ialah untuk mengalahkan Rusia dan mengambil alih Chechnya. Mereka ingin membebaskan Chechnya dari kendali Rusia," kata dia.