Pengadilan di Kota Christchurch, Selandia Baru, melanjutkan persidangan pelaku penembakan dua masjid pada 15 Maret, Brenton Harrison Tarrant.
Tarrant menghadap ke pengadilan pada Jumat (5/4), di mana tersangka penganut ideologi supremasi kulit putih itu dijatuhkan tambahan 49 tuduhan pembunuhan.
Pria berusia 28 tahun itu melepaskan tembakan di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood saat salat Jumat, menewaskan 50 orang dan melukai puluhan lainnya.
Tarrant, yang segera dikenai satu dakwaan pembunuhan sehari setelah penembakan massal, juga dijerat dengan 39 dakwaan upaya pembunuhan pada Jumat.
Hakim Pengadilan Tinggi Cameron Mander memerintahkan agar Tarrant menjalani pemeriksaan kondisi kesehatan mental untuk menentukan apakah dia layak diadili. Menurut Mander, hal itu lazim dilakukan dalam proses persidangan.
Tarrant tidak berada di ruang sidang saat pembacaan dakwaan berlangsung. Dia ditempatkan di penjara Paremoremo, satu-satunya penjara dengan keamanan maksimum di Auckland, dan menghadiri persidangan melalui telekonferensi.
Para petugas penjara menyatakan bahwa Tarrant berada di bawah pengawasan penuh selama 24 jam, dan tidak diberikan akses ke media.
Dari tayangan telekonferensi, Tarrant terlihat duduk dengan tangan diborgol. Dia mengenakan seragam tahanan berwarna abu-abu dan mendengarkan pembacaan dakwaannya dengan tenang.
Sidang berikutnya dijadwalkan akan berlangsung pada 14 Juni.
Hakim Mander mengatakan penilaian kesehatan mental Tarrant akan menentukan apakah dia dapat mengajukan pembelaan di persidangan selanjutnya.
Menurut para ahli hukum, kondisi mental Tarrant kemungkinan akan dinilai oleh dua ahli kesehatan.
Sekitar 12 anggota keluarga korban tewas dan sejumlah warga yang selamat dari aksi teror itu turut hadir di ruang sidang.
Salah satunya merupakan Tofazzal Alam yang sedang beribadah di Masjid Linwood ketika pria bersenjata itu menyerang. Dia merasa perlu menghadiri persidangan karena banyak temannya yang terbunuh dalam penembakan massal itu.
"Sepertinya dia tidak peduli dengan apa yang telah dia lakukan. Dia tidak memiliki emosi dan terlihat baik-baik saja," kata Alam. "Saya merasa sedih. Ingin meminta maaf pada diri saya sendiri, untuk teman-teman saya yang telah terbunuh, dan untuknya."
Sehari setelah penyerangan terjadi, Tarrant memecat seorang pengacara yang ditunjuk oleh pengadilan, dia menyatakan ingin mewakili dirinya sendiri.
Namun, sekarang dia telah menyewa dua pengacara asal Auckland, Shane Tait dan Jonathan Hudson, untuk mewakilinya.
Melalui situsnya, Tait membenarkan telah ditunjuk untuk menjadi kuasa hukum tetapi enggan berkomentar terkait kasus itu.
Pada Jumat, Tait menyampaikan akan mengatur agar kliennya menerima penilaian psikiatris dan menyatakan bahwa prosesnya dapat memakan waktu hingga beberapa bulan.
Jika Tarrant tidak memiliki kuasa hukum untuk mewakilinya, para ahli hukum berpendapat bahwa dia mungkin dapat mencoba menggunakan audiensi di persidangan sebagai platform untuk menyebarluaskan ideologi dan kepercayaannya.
"Jika dia memiliki pengacara, dia akan lebih sedikit berbicara di persidangan," kata Graeme Edgeler, pengacara yang berbasis di Wellington.
Meskipun jurnalis diizinkan untuk hadir dan mencatat jalannya sidang, liputan persidangan Tarrant sangat dibatasi. Media hanya diperbolehkan untuk mempublikasikan foto Tarrant dengan wajah yang telah disensor.
Menyusul penembakan massal itu, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern langsung menyebutnya sebagai aksi terorisme dan dengan cepat memperbarui UU Senjata Selandia Baru.
Pada 21 Maret, PM Ardern mengumumkan bahwa di bawah UU Senjata baru, Selandia Baru melarang senjata semi otomatis dan senapan gaya militer. UU Senjata baru itu berlaku mulai 11 April.
Respons Selandia Baru atas penyerangan itu menuai pujian dari muslim di penjuru bumi. Dunia juga memuji sikap PM Ardern yang memilih untuk mengenakan selendang di kepala saat bertemu dengan keluarga korban dan mendorong agar negaranya bersatu.
Petugas Masjid Al Noor, Israfil Hossain, mengungkapkan bahwa ribuan orang telah berkunjung ke masjid yang baru dibuka kembali itu. Sebagian besar pengunjung menyampaikan belasungkawa dan berusaha mempelajari lebih banyak tentang Islam.
"Mereka datang dari jauh hanya untuk meminta maaf ... Meskipun mereka tidak pernah melakukan apa pun kepada kami," kata Hossain.
Pada Kamis (4/4), sekelompok biarawati berdiri untuk pertama kalinya di masjid itu, menahan air mata ketika mereka berbicara dengan para jemaah.
"Semua orang memiliki masalah sendiri dan masing-masing memiliki gagasan tentang agama, itu tidak apa-apa. Kita semua memiliki itu, kita semua berbeda," kata seorang biarawati, Suster Dorothea. "Tapi perlu diingat bahwa kita semua manusia dan itu adalah hal terpenting, kemanusiaan kita." (Reuters dan AP)