Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam pada Selasa (2/6) menuduh Amerika Serikat menerapkan standar ganda dalam menanggapi unjuk rasa penuh kekerasan.
Unjuk rasa yang diwarnai kerusuhan pecah di sejumlah wilayah di Negeri Paman Sam setelah kematian seorang pria kulit hitam, George Floyd, pada 25 Mei. Di sejumlah negara bagian AS, tentara dan polisi antihuru-hara berjaga-jaga untuk mencegah terjadinya kerusuhan.
"Mereka (AS) sangat peduli dengan keamanan nasional mereka sendiri, tetapi mereka tidak bisa mempertahankan sikap itu ketika memandang situasi keamanan nasional Hong Kong," tutur Lam.
Tahun lalu, Hong Kong diguncang protes prodemokrasi selama berbulan-bulan, di mana polisi antihuru-hara melakukan lebih dari 9.000 penangkapan. Pada saat itu, Washington berulang kali mengkritik cara Hong Kong menanggapi pemrotes dan meminta mereka tidak menggunakan kekerasan.
Ketegangan antara AS dan Hong Kong meninggi dalam beberapa pekan terakhir setelah China daratan menyatakan akan memberlakukan UU keamanan nasional. UU tersebut bertujuan mengatasi separatisme, subversi, terorisme, dan campur tangan asing di Hong Kong.
UU yang belum dirancang tersebut juga akan memungkinkan badan-badan keamanan China daratan beroperasi secara terbuka di Hong Kong.
Para kritikus menilai, UU itu akan mematikan prinsip "satu negara, dua sistem" yang memungkinkan otonomi dan kebebasan di Hong Kong yang tidak dapat dinikmati di China daratan.
Pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengancam akan mencabut status perdagangan khusus Hong Kong jika mereka tidak mempertahankan otonomi.
Lam pada Selasa menegaskan bahwa langkah itu hanya akan merugikan AS. Dia mengatakan, ada sekitar 1.300 bisnis AS di Hong Kong yang menghasilkan surplus perdagangan yang besar bagi negara tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang AS-Hong Kong 1992, AS memperlakukan Hong Kong sebagai entitas perdagangan yang terpisah dari China daratan. Ketentuan ini berlaku selama Hong Kong mempertahankan kebebasan dan otonomi mereka. (Al Jazeera dan Channel News Asia)