Penelitian: Pola makan buruk lebih banyak picu kematian dibanding rokok
Studi menyatakan bahwa di banyak negara, pola makan yang buruk menyebabkan lebih banyak kematian daripada merokok dan tekanan darah tinggi. Hal itu disampaikan oleh Ashkan Afshin, asisten profesor di Institute for Health Metrics and Evaluation di University of Washington.
Afshin merupakan penulis analisis diet global yang diterbitkan pada Rabu (3/4) di jurnal The Lancet.
"Meski biasanya percakapan tentang pola makan sehat fokus pada penurunan asupan makanan yang tidak sehat, dalam penelitian ini, kami menunjukkan bahwa rendahnya asupan makanan sehat adalah faktor yang lebih penting daripada yang tingginya asupan makanan yang tidak sehat," kata Afshin.
Penelitian itu menemukan bahwa pada 2017, secara global, satu dari lima kematian terjadi karena terlalu banyak konsumsi natrium serta kurangnya biji-bijian, buah-buahan, dan kacang-kacangan.
Menurut studi tersebut, pada 2017, faktor pola makan tidak sehat menjadi penyebab 11 juta kematian dan 255 juta kecacatan.
Peneliti di Otago University, Andrew Reynolds, menyatakan bahwa karena cakupan studi itu besar, maka temuan tersebut relevan bagi semua orang, di mana pun mereka tinggal.
"Temuan dari studi itu dapat berpengaruh pada kebijakan yang menentukan makanan apa yang akan tersedia di Barat, bagaimana makanan itu dipasarkan, dan potensi biaya makanan tersebut di tahun-tahun mendatang," tambahnya.
Risiko pola makan buruk
Dalam analisis yang didanai oleh Bill & Melinda Gates Foundation itu, Afshin dan rekan-rekannya mengamati 15 bahan makanan yang berisiko menyumbang pada pola makan buruk dan dampaknya terhadap kematian atau kecacatan.
Studi tersebut membandingkan tingginya kadar daging merah dan daging olahan, minuman bergula, asam lemak trans, serta garam, dengan efek pola makan sehat yang rendah.
Makanan sehat itu termasuk buah-buahan, sayuran, biji-bijian utuh, susu, kalsium, kacang-kacangan, serat, polong-polongan, asam lemak omega 3 dari makanan laut, asam lemak tidak jenuh ganda, dan minyak sayur.
Selain garam, yang merupakan faktor bahan makanan berisiko utama di sebagian besar negara, penelitian itu menemukan daging merah dan daging olahan, lemak trans, dan minuman bergula berada di peringkat bawah daftar bahan makanan yang berisiko di sebagian besar negara.
Faktanya, lebih dari separuh dari total kematian terkait pola makan global pada 2017 disebabkan oleh tiga faktor risiko utama yakni konsumsi garam berlebihan, kurangnya konsumsi biji-bijian, dan tidak cukup makan buah.
Afshin menyatakan bahwa ketiga risiko itu tetap berlaku terlepas dari tingkat sosial-ekonomi sebagian besar negara.
Studi baru itu merupakan bagian dari laporan tahunan Global Burden of Disease (GBD), yang ditulis oleh konsorsium ribuan peneliti. Mereka membedah efek kesehatan dari risiko pola makan di 195 negara dari 1990 hingga 2017.
Pada Januari, konsorsium itu merilis "diet untuk planet yang sehat", yang menyatakan bahwa mengurangi konsumsi daging merah dan gula, serta menambah asupan buahan, sayuran, dan kacang, dapat mencegah hingga 11,6 juta kematian dini tanpa merusak bumi.
Meskipun ada beberapa kekurangan metodologi dan kesenjangan data dari sejumlah negara berkembang, Afshin menuturkan bahwa studi terbarunya merupakan analisis paling komprehensif tentang efek kesehatan dari pola makan yang tidak sehat.
"Itu klaim yang bagus," kata Reynold menanggapi pernyataan Afshin. "Setiap tahun ada studi yang diterbitkan terkait bagaimana kita harus mengatur pola makan, tetapi banyaknya data yang dipakai dan keterwakilan global yang ada di studi ini membuatnya layak dipertimbangkan."
Dia menambahkan bahwa daftar risiko makanan dalam pola makan buruk yang terdapat dalam studi tersebut memberikan informasi bagi para pembuat kebijakan terkait pola makan buruk apa yang dapat diatasi.
Kematian terkait pola makan setiap negara
Sepuluh juta kematian akibat pola makan yang tidak sehat pada 2017 bersumber dari penyakit kardiovaskular, kanker bertanggung jawab atas 913.000 kematian, dan diabetes tipe 2 menjadi penyebab 339.000 kematian.
Selain itu, 66% kecacatan pada 2017 juga disebabkan oleh ketiga penyakit tersebut.
Namun, yang menarik, obesitas tidak menjadi penyebab tingkat teratas. Menurut Afshin, penyakit itu berada di urutan keenam dalam daftar risiko penyakit global akibat pola makan buruk.
Uzbekistan menjadi negara dengan kematian tertinggi akibat pola makan buruk, diikuti oleh Afghanistan, Kepulauan Marshall, Papua Nugini, dan Vanuatu.
Sementara itu, Israel memiliki jumlah kematian terendah, diikuti oleh Prancis, Spanyol, Jepang, dan Andorra.
Inggris menduduki peringkat ke-24 dalam tingkat kematian terendah, berada satu peringkat di atas Republik Irlandia, dan dua peringkat di atas Swedia.
Sedangkan Amerika Serikat duduk di peringkat ke-43, setelah Rwanda dan Nigeria yang masing-masing berada di posisi 41 dan 42. Kemudian India berada di peringkat 118 dan China di peringkat 140.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa di AS, India, Brasil, Pakistan, Nigeria, Rusia, Mesir, Jerman, Iran, dan Turki, kekurangan konsumsi biji-bijian menjadi faktor risiko terbesar.
Hal itu bukan berarti warga di negara-negara tersebut tidak makan biji-bijian, tetapi mereka mengonsumsi biji-bijian hasil olahan, yang mengandung sedikit gizi dan jumlah kalori yang tinggi.
Reynolds, yang menerbitkan sebuah studi di The Lancet tentang efek gandum utuh pada Januari, memperingatkan bahwa banyak produk biji-bijian utuh yang dijual sekarang ini seringkali justru sedikit mengandung biji-bijian utuh.
"Biji-bijian utuh dimasukkan dan diolah bersama produk lain yang mungkin telah digiling halus, serta ditambahkan natrium, gula, dan lemak jenuh," kata dia. "Saya pikir kita semua harus menyadari hal ini dan tidak tertukar antara biji-bijian utuh yang diproses secara minimal dengan apa yang sering diiklankan sebagai produk biji-bijian utuh yang tersedia saat ini."
Whole Grains Council menyediakan stempel yang tersedia di 54 negara, yang mengesahkan tingkat biji-bijian utuh dalam suatu produk.
Tantangan regional
Faktor risiko terbesar yang dihadapi China, Jepang, Indonesia, dan Thailand adalah jumlah natrium yang terkandung dalam makanan mereka.
Afshin menilai itu mungkin karena cuka beras yang sangat asin, saus, serta pasta yang digunakan untuk memasak hidangan tradisional Asia.
Apakah itu berarti negara Asia akan terus hidup dengan risiko tinggi dari pola makan buruk? Belum tentu, kata Corinna Hawkes, dari Centre for Food Policy di University of London.
"Siapa pun yang mempelajari sejarah makanan akan memberi tahu Anda bahwa preferensi budaya berubah seiring waktu," tutur Hawkes. "Tapi ya, dalam kasus ini, kemungkinan akan melibatkan perubahan budaya untuk mengubah kebiasaan memasak hidangan."
Sementara itu, di Meksiko, kurangnya konsumsi kacang-kacangan dan biji-bijian menjadi faktor risiko tertinggi, diikuti oleh kurangnya sayuran, biji-bijian utuh, dan buah dalam pola makan.
Meksiko duduk di peringkat kelima dari negara yang mengonsumsi minuman bergula.
Hal itu bukan hanya karena preferensi warga setempat untuk meminum soda dan minuman manis lokal yang disebut aguas frescas, tetapi karena kurangnya akses air bersih, buah-buahan, dan sayuran.
"Kami tidak punya air bersih gratis untuk diminum," kata Christian Razo, ahli nutrisi dari National Institute of Public Health of Mexico.
"Warga harus membeli air bersih untuk diminum, dan jika mereka harus membeli sesuatu, mereka lebih memilih untuk membeli soda," lanjutnya. "Dan lebih mudah untuk mendapatkan makanan hasil olahan daripada buah-buahan atau sayuran segar."
Razo menyatakan meski Meksiko merupakan produsen besar bagi buah-buahan dan sayuran, mayoritas produk mereka dibeli oleh distributor di AS dan negara-negara lainnya.
Akibatnya, masyarakat setempat justru memiliki sedikit akses untuk membeli produk sehat segar yang terjangkau dan tidak memiliki kemampuan untuk bercocok tanam sendiri.
"Kami mendorong masyarakat untuk berbelanja di pasar lokal, tetapi harganya lebih mahal," kata Razo. "Sulit untuk bersaing dengan semua merek besar yang membeli produk dalam negeri. Jadi, ya, kami memiliki tantangan besar."
Dia menambahkan, harga yang mahal juga menjadi alasan mengapa warga Meksiko tidak dapat membeli kacang-kacangan dan biji-bijian.
Seruan untuk bertindak
Studi tersebut menuai tanggapan dari para pembuat kebijakan. Mereka mengajak masyarakat untuk segera bertindak mengatasi persoalan pola makan itu.
"Pola makan yang tidak sehat adalah faktor risiko utama bagi kesehatan menurut GBD. Kepentingan dari faktor ini butuh diperhatikan," ujar Direktur Departemen Nutrisi untuk Kesehatan dan Pembangunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Francesca Branca.
"Masyarakat perlu menyadari hubungan penting antara pola makan dan kesehatan. Mereka perlu menuntut adanya tindakan untuk meningkatkan akses dan ketersediaan makanan yang berkontribusi pada pola makan yang sehat," kata Branca. "Mempertimbangkan perlunya tindakan, Majelis Umum PBB mendeklarasikan 2016-2025 sebagai Dekade Aksi Gizi PBB, dan meminta pemerintah untuk berkomitmen pada resolusi itu."
Hawkes menilai bahwa upaya itu akan membutuhkan koordinasi antara pembuat kebijakan publik, petani, pemasar, dan distributor. Misalnya untuk biji-bijian utuh, tambahnya, akan membutuhkan perubahan menyeluruh dalam ekonomi produksi dan distribusi makanan.
"Pemurnian biji-bijian sangat menguntungkan," kata Hawkes. "Untuk jagung, misalnya. Anda dapat mengolahnya menjadi sejumlah bahan yang berbeda yakni pakan ternak, tepung olahan, dan sirup jagung fruktosa tinggi. Jadi, produsen menghasilkan beberapa produk dari proses pemurnian itu."
Meski terlihat sulit, Hawkes memiliki harapan. Dia melihat adanya perubahan sikap pada pembuat kebijakan bidang kesehatan.
"Ketika mengangkat isu ini, dulu saya dipandang sebagai orang aneh, sekarang saya dapat mengatakan bahwa persoalan ini ditanggapi dengan serius," ungkapnya.