close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Seorang perempuan Kashmir berdiri di samping sebuah grafiti tertulis di tembok saat pembatasan menyusul dicabutnya status konstitusional khusus Kashmir oleh pemerintah India, di Srinagar, Minggu (15/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Francis Mascarenhas
icon caption
Seorang perempuan Kashmir berdiri di samping sebuah grafiti tertulis di tembok saat pembatasan menyusul dicabutnya status konstitusional khusus Kashmir oleh pemerintah India, di Srinagar, Minggu (15/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Francis Mascarenhas
Dunia
Kamis, 03 Oktober 2019 15:07

Pengadilan di Kashmir lumpuh, tahanan terlunta-lunta

Kehidupan di Kashmir yang dikelola India mandek sejak kawasan itu kehilangan otonominya pada 4 Agustus.
swipe

Ribuan orang, termasuk politikus, pengusaha dan aktivis, dilaporkan telah ditahan di Kahsmir yang dikelola India menyusul langkah pemerintah mencabut status khusus wilayah itu pada 4 Agustus. Anggota keluarga yang khawatir telah berbondong-bondong mendatangi pengadilan, namun upaya mereka belum membuahkan hasil.

Kehidupan di Kashmir digambarkan mandek sejak kawasan itu kehilangan otonominya. Koneksi internet dan jaringan ponsel tetap ditangguhkan, jalan-jalan sebagian besar sepi dan puluhan ribu pasukan telah dikerahkan. 

Meski ada jaminan bahwa sekolah-sekolah dan kantor-kantor dapat berfungsi secara normal, faktanya itu belum terjadi. Sebagian besar bisnis tetap tutup sebagai bentuk protes melawan pemerintah, tetapi banyak pemiliknya juga takut dengan pembalasan oleh kelompok militan yang menentang pemerintah India jika mereka kembali beraktivitas seperti biasa.

Banyak tahanan yang disebut telah dipindahkan ke penjara di luar negara bagian.

Altaf Hussein Lone datang ke pengadilan untuk mencari pengacara demi mewakili saudaranya, Shabbir, seorang tokoh desa yang ditangkap di bawah Undang-Undang Keamanan Publik (PSA) yang sangat kontroversial, yang antara lain, memungkinkan penahanan tanpa tuntutan resmi hingga dua tahun.

Lone gagal menemukan pengacara untuk saudaranya. Asosiasi Pengacara Pengadilan Tinggi Jammu dan Kashmir yang bermarkas di Srinagar, sebuah organisasi yang menaungi lebih dari 2.200 profesional, telah memboikot pengadilan selama lebih dari 50 hari.

Sikap tersebut diambil atas penangkapan presiden dan mantan presiden mereka, Mian Abdul Qauyoom dan Nazeer Ahmed Ronga. Mereka juga ditangkap di bawah PSA dan dikirim ke dua penjara berbeda di Negara Bagian Uttar Pradesh karena menyokong pemisahan diri.

Kondisi ini telah menyebabkan keluarga tahanan dalam kesulitan. Tanpa seorang pengacara pun, Lone tidak yakin bagaimana kelanjutan nasib Shabbir. Namun, dia telah mengajukan petisi habeas corpus.

Habeas corpus merupakan surat tuntutan yang secara tradisional mengharuskan seseorang yang ditahan oleh pihak berwenang untuk dibawa ke pengadilan agar legalitas penahanannya dapat diperiksa.

Sejak 5 Agustus, lebih dari 250 petisi telah diajukan. Tetapi tidak ada yang disidangkan karena kurangnya kehadiran hakim.

"Saya tidak tahu harus apa lagi," ujar Lone seraya menambahkan bahwa sekarang dialah yang mengurus keluarga Shabbir, yang terdiri dari seorang istri dan dua anak yang masih kecil, serta ibu mereka yang sudah berusia 80 tahun.

Para pengacara mengatakan pemogokan akan terus berlanjut sampai rekan-rekan mereka dibebaskan.

Sama seperti Lone, Tariq (bukan nama sebenarnya), juga mencari pengacara untuk ayah mertuanya yang ditangkap pada 7 Agustus. Dia menuturkan bahwa pria berusia 63 tahun itu dibawa pergi oleh pasukan keamanan mendekati tengah malam dan menghabiskan beberapa hari di kantor polisi setempat sebelum dipindahkan ke Penjara Pusat Srinagar.

"Dia mengikuti ideologi Jamaat-e-Islami (kelompok militan yang menentang India) tetapi telah meninggalkannya lima tahun lalu," kata Tariq 

Kondisi suram di pengadilan tinggi Srinagar mendapat perhatian dari Mahkamah Agung, bahkan dilaporkan telah mendorong Ketua Mahkamah Agung Ranjan Gogoi mengumumkan bahwa dia akan mengunjungi Srinagar untuk melihat sendiri situasinya. Dia belum mengumumkan tanggal kedatangannya.

Menurut Mudasir, seorang pengacara dan anggota Asosiasi Pengacara Pengadilan Tinggi J&K, pengadilan biasanya harus merilis pemberitahuan dalam waktu 48 jam setelah petisi habeas corpus diajukan dan negara harus merespons sebelum kasus itu terdaftar pada hari keempat. Petisi ini harus diputuskan dalam 15 hari.

Di sisi lain, sejumlah pengacara juga berjuang untuk menjalankan praktik mereka.

"Kami tidak dapat menghubungi klien. Pada hari-hari awal, ada kekurang prangko dan kertas. Kami menulis permohonan jaminan pada kertas biasanya," ujar Rafique Bazaz, seorang pengacara senior. "Orang-orang berjalan jauh ke kantor polisi untuk mendapat informasi ... Kami kekurangan stenografer untuk menulis petisi. Tidak ada internet berarti kami tidak tahu alasan penahanan."

img
Khairisa Ferida
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan