Dosen dari Georgetown University, Jennifer Huang, menyatakan bahwa salah satu kekhawatiran paling besar terkait Belt and Road Initiative (BRI) milik China adalah proyek itu terlalu ambisius.
"Apakah BRI benar-benar dapat memberikan stimulan bagi pertumbuhan ekonomi lokal seperti yang dijanjikan?," tutur Huang usai acara "Jakarta Geopolitical Forum III/2019" di Ritz-Carlton, Jakarta, pada Kamis (26/9).
BRI merupakan proyek yang digagas oleh Presiden China Xi Jinping pada 2013 yang melibatkan pembangunan infrastruktur dan konektivitas melalui skema investasi global. Tujuannya adalah untuk membangun kembali konektivitas berbasis daratan yang disebut sebagai belt dalam inisiatif tersebut.
Konektivitas daratan tersebut akan membentang dari China ke wilayah lain di Asia, Eropa, dan seterusnya. China juga berupaya menguatkan konektivitas jalur maritim atau road, disebut sebagai 21st Century Maritime Silk Road, yang meliputi Laut Cina Selatan, Pasifik Selatan, dan Samudera Hindia.
Huang menyebut bahwa ada sejumlah risiko yang perlu dijadikan pertimbangan. Beberapa di antaranya adalah apakah BRI dapat meningkatkan praktik korupsi di bidang pembangunan infrastruktur, atau apakah akan ada dampak negatif terhadap lingkungan dan kondisi sosial masyarakat sipil.
"Saya pikir yang paling penting adalah mengidentifikasi potensi-potensi risiko dan mengawasi serta memantau jalannya proyek BRI," kata dia.
Meskipun kekhawatiran itu ada, dia mengatakan bahwa BRI merupakan peluang yang belum pernah ada bagi dunia, terutama Asia. Sejauh ini, lanjut dia, secara keseluruhan proyek BRI paling banyak berada di Asia yakni 222 proyek.
"BRI memanfaatkan Asia Tengah, Asia Barat dan Asia Tenggara. Jadi sangat jelas bahwa Asia merupakan wilayah yang penting dan dapat memberi manfaat besar jika BRI berhasil di kawasan," tutur dia.
Menurut dia, pembangunan infrastruktur yang terjadi di bawah konsep BRI membantu meningkatkan konektivitas dunia.
"Secara teoritis, konektivitas itu memang dapat meningkatkan perdagangan dan perkembangan ekonomi," jelas Huang.
Menanggapi sentimen bahwa BRI hanya memaksimalkan tenaga kerja dari China dan kurang melibatkan pekerja lokal, Huang berpendapat bahwa risiko itu perlu ditangani segera.
Dia menyatakan, aspek-aspek seperti partisipasi tenaga kerja lokal atau perusahaan lokal perlu diperjelas dan dipertegas sejak proses negosiasi proyek berlangsung.
"Perlu ada kebijakan lokal untuk melindungi pekerja dan perusahaan lokal agar tidak terdampak risiko negatif ini," sebut dia.
Sebagai upaya implementasi penilaian risiko, dia mendesak agar perusahaan yang ingin bekerja dengan China di bawah kerangka BRI memastikan keadilan hak-hak mereka di dalam kontrak.
"Jangan melompat terlalu cepat tanpa melakukan penilaian risiko," ungkapnya.
Dia menyatakan bahwa meskipun BRI dibuat oleh China, tetapi manfaatnya harus dirasakan dunia karena Tiongkok sendiri ingin melibatkan banyak negara.