Kurang dari sepekan terakhir menandai eskalasi ketegangan yang cepat dalam perang dagang China versus Amerika Serikat. Tiongkok mendevaluasi yuan setelah pemerintahan Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif baru sebesar 10% pada impor China senilai US$300 miliar per 1 September.
AS pun mencap China sebagai manipulator mata uang.
Perang dagang telah mengguncang pasar dan mengancam ekonomi global. Sulit menebak apa yang akan terjadi berikutnya.
China sudah mengatakan siap untuk berperang, jika memang diperlukan. Dan Tiongkok memiliki sebuah senjata yang sangat kuat, yaitu fakta bahwa mereka merupakan kreditur terbesar AS.
Secara teori, Beijing dapat memicu kepanikan di pasar obligasi dengan merilis sebagian dari surat utang pemerintah AS (US Treasury) senilai US$1,1 triliun yang dimilikinya.
Dengan merilis banyak surat utang pemerintah, harga-harga akan runtuh, suku bunga melonjak serta biaya pinjaman AS melambung.
Namun, ada alasan yang sangat masuk akal mengapa China tidak mungkin menempuh opsi tersebut. Pertama, itu tidak memilili efek yang diinginkannya. Kedua, langkah tersebut dapat menjadi bumerang bagi perekonomian mereka.
'Opsi nuklir'
China telah mengambil sejumlah langkah untuk menopang yuan, menandai bahwa depresiasi dimaksudkan sebagai peringatan. Situasi saat ini dinilai sangat sensitif, dan membuka lebar peluang eskalasi ketegangan lebih lanjut.
Keputusan untuk melepas obligasi AS secara agresif disebut sebagai 'opsi nuklir' mengingat itu berfungsi sebagai acuan bagi kredit bisnis dan konsumen, nilai utang perusahaan, hipotek serta kredit mobil yang ujung-ujungnya akan naik. Dan kenaikan dapat mengerem pertumbuhan ekonomi AS.
Menurut Michael Hirson, Kepala Praktik China di konsultan Eurasia Group, opsi nuklir memiliki risiko besar dan itu tidak sejalan dengan strategi China saat ini.
"Kita jelas dalam siklus eskalasi," kata Hirson. "Tetapi saya rasa motivasi utama Beijing saat ini dalam perang dagang adalah dapat menahan tekanan dari Trump. Yang didahulukan adalah ketahanan."
Hirson menilai langkah China melepas obligasi AS akan menjadi kontraproduktif.
Para ahli menilai China akan mencoba merekayasa penurunan yuan yang terkendali dalam beberapa bulan mendatang, sehingga memungkinkan negara itu menyerap sebagian tekanan pada ekonominya tanpa memicu eksodus modal.
Hal lainnya yang kemungkinan mencegah China melepas sebagian obligasi AS adalah karena langkah itu melemahkan upaya untuk menarik investasi asing ke pasar ekuitas dan obligasi mereka.
"Dibutuhkan arus masuk asing untuk melindungi mata uangnya selama perang perdagangan," kata Hirson. "Jika China menjadikan kepemilikan US Treasury sebagai senjata, itu mengirimkan pesan yang sangat mengkhawatirkan kepada investor global."
Ada juga pertanyaan apakah opsi China melepas surat utang akan menghantam AS secara nyata. Senior fellow di Dewan Hubungan Luar Negeri Brad Setser mengatakan dia skeptis.
"Bila itu mulai memiliki dampak negatif yang besar pada AS, The Fed kemungkinan akan bereaksi," kata dia.
Negosiator Amerika Serikat dan China mengakhiri putaran pembicaraan dagang di Shanghai pada Rabu (31/7) tanpa kemajuan berarti. Keduanya sepakat untuk kembali bertatap muka pada awal September di Washington.
Gedung Putih dan Kementerian Perdagangan China masing-masing menggambarkan pertemuan di Shanghai sebagai hal yang konstruktif, tetapi tidak ada perjanjian yang diumumkan yang dapat membuka jalan bagi pembicaraan yang lebih substantif di masa depan.
Dua orang yang akrab dengan pembicaraan di Shanghai menuturkan bahwa fokus pada Rabu adalah itikad baik kedua pihak termasuk pembelian kedelai, daging babi, etanol dan komoditas AS lainnya oleh China dan di lain sisi AS akan melonggarkan pembatasan penjualan terhadap raksasa telekomunikasi China, Huawei.
Namun, pada Selasa (6/8), Kementerian Perdagangan Tiongkok mengonfirmasi bahwa perusahaan-perusahaan China berhenti membeli produk pertanian AS. Ditekankan pula bahwa China dapat mengenakan tarif tambahan bagi produk pertanian AS, meredupkan prospek rampungnya kesepakatan dagang. (CNN dan Channel News Asia)