Perdana Menteri Tonga Akilisi Pohiva (78), seorang juru kampanye prodemokrasi dan perubahan iklim di Pasifik Selatan, meninggal di Auckland City Hospital, Selandia Baru, sekitar pukul 10.00 waktu Tonga pada Kamis (12/9).
Pada awal tahun ini, Pohiva didiagnosis menderita komplikasi hati. Kemudian sekitar dua pekan lalu dia dirawat di sebuah rumah sakit di Tonga karena pneumonia.
"Para dokter memutuskan bahwa dia harus dievakuasi secara medis ke Selandia Baru," ungkap kantor perdana menteri.
Pohiva adalah sosok yang sangat penting di Tonga. Menurut seorang peneliti di Australian National University Graeme Smith, Pohiva adalah orang di balik dorongan demokrasi dan menjauh dari politik yang didominasi oleh keluarga kerajaan
Media Tonga mengabarkan bahwa parlemen telah ditangguhkan tanpa batas waktu.
"Sangat sedih mendengar kabar meninggalnya Perdana Menteri Yang Mulia Akilisi Pohiva. Dia adalah pembela rakyatnya, negara tercintanya dan keluarga Pasifik," twit PM Australia Scott Morrison.
Pohiva merupakan anggota parlemen terlama di Tonga sejak pertama kali terpilih pada 1987. Dia menduduki kursi PM sejak 2014. Sosoknya bicara blak-blakan tentang perubahan iklim dan menyerukan para pemimpin dunia untuk membantu negara-negara kepulauan, yang beberapa di antaranya berjuang melawan naiknya permukaan laut.
Mendiang Pohiva juga menyuarakan kekhawatiran tentang meningkatnya utang China di Pasifik Selatan.
Tonga sangat berutang budi pada China. Menurut anggaran 2019-2020, lebih dari 60% utang luar negerinya berasal dari pinjaman bilateral Tiongkok.
Negara kecil di Pasifik itu menerima penangguhan hukuman dari China tahun lalu tentang waktu pembayaran utang setelah mereka menandatangani Belt and Road Initiative (BRI).
"Kehilangan yang luar biasa bagi seluruh orang Tongan," twit Menteri Selandia Baru untuk Komunitas Etnis Jenny Salesa.
Sementara itu, PM Fiji Frank Bainimarama menuturkan bahwa dunia harus melanjutkan perjuangan Pohiva untuk mengatasi perubahan iklim.
Tonga adalah rumah bagi 106.000 orang. (Reuters dan VOA)