Populasi China menyusut, India diyakini akan menyalip
Populasi China menyusut untuk pertama kalinya, dalam beberapa dekade pada tahun lalu, karena anjloknya angka kelahiran. Angka resmi menunjukkan bertambahnya tekanan pada para pemimpin untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, meskipun tenaga kerja menua dan pada saat meningkatnya ketegangan dengan AS.
Terlepas dari angka resminya, beberapa ahli percaya populasi China telah menurun selama beberapa tahun, setelah adanya perubahan dramatis di negara yang pernah berusaha mengendalikan pertumbuhan tersebut melalui kebijakan satu anak.
Banyak negara kaya berjuang dengan cara menanggapi populasi yang menua, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi karena jumlah pekerja yang menyusut dan di sisi lain tetap memberikan dukungan kepada orang lanjut usia.
Tetapi perubahan demografis akan sangat sulit untuk dikelola di negara berpenghasilan menengah seperti China, yang tidak memiliki sumber daya untuk merawat populasi yang menua seperti halnya Jepang. Seiring waktu, hal itu kemungkinan akan memperlambat ekonominya dan bahkan dunia, dan berpotensi membuat inflasi lebih tinggi di banyak negara maju.
“China menjadi lebih tua sebelum menjadi kaya,” kata Yi Fuxian, seorang ahli demografi dan pakar tren populasi China di University of Wisconsin-Madison.
Perlambatan ekonomi juga dapat menimbulkan masalah politik bagi Partai Komunis yang berkuasa, jika peluang yang menyusut menimbulkan ketidakpuasan publik. Apalagi setelah adanya kemarahan atas penguncian Covid-19, yang menjadi penghambat ekonomi dan mengakibatkan timbulnya protes yang dalam beberapa kasus menyerukan agar pemimpin Xi Jinping mundur.
Biro Statistik Nasional melaporkan pada Selasa (17/1) waktu setempat, bahwa negara itu memiliki 850.000 orang lebih sedikit pada akhir 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. Penghitungan hanya mencakup populasi China daratan, tidak termasuk Hong Kong dan Makau serta penduduk asing.
Biro Statistik Nasional juga menyebutkan, lebih dari 1 juta bayi lahir lebih sedikit dibandingkan tahun sebelumnya di tengah ekonomi yang melambat dan penguncian pandemi yang meluas. Biro tersebut juga melaporkan 9,56 juta kelahiran pada 2022; kematian berjumlah 10,41 juta.
Tidak jelas apakah angka populasi dipengaruhi oleh wabah Covid-19 yang meluas setelah pelonggaran pembatasan pandemi bulan lalu. China baru-baru ini melaporkan 60.000 kematian terkait Covid sejak awal Desember, tetapi beberapa ahli yakin pemerintah kemungkinan besar tidak melaporkan banyak kematian lain.
Terakhir kali China diyakini mengalami penurunan populasi adalah selama program Lompatan Jauh ke Depan. Sebuah dorongan untuk pertanian kolektif dan industrialisasi yang diluncurkan oleh Mao Zedong pada akhir 1950-an, yang menghasilkan kelaparan besar-besaran yang menewaskan puluhan juta orang.
Populasi China mulai menurun sembilan hingga 10 tahun lebih awal dari perkiraan pejabat China dan proyeksi PBB. Dengan penduduk berjumlah 1,4 miliar, negara ini telah lama menjadi negara terpadat di dunia, tetapi diperkirakan segera diambil alih oleh India.
China telah berusaha untuk meningkatkan populasinya sejak secara resmi mengakhiri kebijakan satu anak pada 2016. Sejak itu, China telah mencoba mendorong keluarga untuk memiliki anak kedua atau bahkan ketiga, dengan sedikit keberhasilan, yang mencerminkan sikap di sebagian besar Asia Timur di mana tingkat kelahiran telah meningkat dengan deras. Di CHina, biaya membesarkan anak yang mahal di kota sering disebut sebagai penyebabnya.
Zhang Huimin mengeluhkan “persaingan sengit” yang dihadapi anak muda akhir-akhir ini, dan itu merupakan sikap yang cukup khas untuk memulai sebuah keluarga di antara kelompok usianya.
“Harga rumah tinggi dan pekerjaan tidak mudah didapat,” kata warga Beijing berusia 23 tahun itu. “Saya menikmati hidup sendiri. Ketika saya merasa kesepian, saya senang tinggal bersama teman-teman saya atau memelihara hewan peliharaa,” kata dia lagi.
Yi mengatakan, penelitiannya menunjukkan populasi China sebenarnya telah menurun sejak 2018, yang artinya krisis populasi “jauh lebih parah” dari yang diperkirakan sebelumnya. Negara itu sekarang memiliki salah satu tingkat kesuburan terendah di dunia, hanya sebanding dengan Taiwan dan Korea Selatan.
Itu berarti "krisis demografis China yang sebenarnya berada di luar imajinasi dan bahwa semua kebijakan ekonomi, sosial, pertahanan, dan luar negeri China di masa lalu didasarkan pada data demografis yang salah," kata Yi kepada The Associated Press.
Krisis ekonomi yang menjulang akan lebih buruk daripada Jepang, di mana pertumbuhan rendah selama bertahun-tahun telah disalahkan sebagian pada populasi yang menyusut.
Biro statistik mengatakan, populasi usia kerja antara 16 dan 59 tahun berjumlah 875,56 juta, terhitung 62% dari populasi nasional, sedangkan mereka yang berusia 65 tahun ke atas berjumlah 209,78 juta, terhitung 14,9% dari total.
Pertumbuhan ekonomi China juga turun ke level terendah kedua dalam setidaknya empat dekade tahun lalu, meskipun aktivitas bangkit kembali setelah pencabutan pembatasan Covid-19 yang membuat jutaan orang di rumah.
Setiap perlambatan memiliki implikasi yang lebih luas. China menjadi pusat manufaktur global di awal tahun 2000-an. Dengan jutaan warganya berbondong-bondong dari pedesaan ke kota-kotanya, pasokan tenaga kerja murah China yang tampaknya tak ada habisnya menurunkan biaya bagi konsumen di seluruh dunia untuk komputer, telepon pintar, furnitur, pakaian, dan mainan.
Tetapi sekarang, biaya tenaga kerjanya sudah mulai meningkat dan perubahan demografi kemungkinan besar akan mempercepat tren itu. Akibatnya, inflasi dapat merayap lebih tinggi di negara-negara yang mengimpor produk China, meskipun produksi juga dapat berpindah ke negara berbiaya lebih rendah seperti Vietnam.
Di atas tantangan demografis, China juga semakin dalam pada persaingan ekonomi dengan AS, yang telah memblokir akses beberapa perusahaan China ke teknologi Amerika, dengan alasan masalah keamanan nasional dan persaingan yang adil.
Tetapi menurut Stuart Gietel-Basten, profesor ilmu sosial di Universitas Khalifa di Abu Dhabi, jika ditangani dengan benar, populasi yang menurun tidak selalu berarti ekonomi yang lebih lemah.
“Ini masalah psikologis yang besar. Mungkin yang terbesar,” kata Gietel-Basten.
Menurut data dari biro statistik, laki-laki melebihi jumlah perempuan sebesar 722,06 juta menjadi 689,69 juta, biro melaporkan, hasil dari kebijakan satu anak dan preferensi tradisional untuk keturunan laki-laki untuk meneruskan nama keluarga.
Angka tersebut juga menunjukkan urbanisasi yang meningkat di negara yang secara tradisional sebagian besar adalah pedesaan. Selama 2022, populasi perkotaan permanen meningkat sebesar 6,46 juta hingga mencapai 920,71 juta, atau 65,22%.
PBB memperkirakan tahun lalu populasi dunia mencapai 8 miliar dan India akan menggantikan China sebagai negara terpadat di dunia pada 2023. Sensus terakhir India dijadwalkan pada 2022 tetapi ditunda di tengah pandemi.
Gietel-Basten mengatakan China telah beradaptasi dengan perubahan demografis selama bertahun-tahun dengan merancang kebijakan untuk memindahkan aktivitas ekonominya ke rantai nilai inovasi, hal iitu menunjuk pada pengembangan manufaktur semikonduktor dan industri jasa keuangan.
“Populasi India jauh lebih muda dan terus bertambah. Tetapi ada banyak alasan mengapa Anda tidak secara otomatis mempertaruhkan seluruh kekayaan Anda di India yang melampaui China secara ekonomi dalam waktu dekat,” katanya.
"Di antara banyak tantangan India adalah tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja yang jauh lebih rendah daripada China, kata Gietel-Basten.
"Apa pun populasi yang Anda miliki, itu bukan apa yang Anda miliki, tetapi apa yang Anda lakukan dengannya sampai taraf tertentu," katanya.