Iran tidak akan pernah mengadakan pembicaraan dengan Amerika Serikat di bawah tekanan. Hal tersebut ditegaskan oleh Presiden Hassan Rouhani pada Minggu (16/2).
Presiden Rouhani menyatakan bahwa bantuan Iran sangat penting dalam membangun keamanan di Timur Tengah.
Relasi antara Iran dan Amerika Serikat mencapai titik kritis pada 2018 setelah Donald Trump memutuskan hengkang dari kesepakatan nuklir 2015. Situasinya kian memburuk usai AS membunuh Jenderal Qasem Soleimani pada 3 Januari dan Iran membalas kematiannya dengan menyerang dua pangkalan militer di Irak yang menampung pasukan AS.
Trump telah berkali-kali mengumumkan kebijakan berupa tekanan maksimum untuk memaksa Teheran menegosiasikan ulang kesepakatan nuklir. Menurut Trump, kesepakatan nuklir 2015 yang dicapai di era pemerintahan Barack Obama cacat dan merugikan AS.
"Iran tidak akan pernah bernegosiasi di bawah tekanan ... Kami tidak akan pernah menyerah pada tekanan AS dan kami tidak akan bernegosiasi dari posisi yang lema," kata Presiden Rouhani dalam konferensi pers yang disiarkan di televisi.
Pascahengkangnya AS dari kesepakatan nuklir 2015, AS memberlakukan kembali sejumlah sanksi yang bertujuan melumpuhkan ekonomi Iran. Meski demikian, Iran telah berulang kali menolak pembicaraan atas kesepakatan baru.
Bagi Teheran, pembicaraan mungkin dilakukan jika AS kembali ke kesepakatan nuklir 2015 dan mencabut sanksi.
"Tekanan maksimum AS terhadap Iran akan gagal ... musuh kita (AS) menyadari dengan sangat baik bahwa tekanan mereka tidak efisien," ujar Presiden Rouhani.
Di lain sisi, Iran terlibat dalam perang proksi dengan rival utama regionalnya, Arab Saudi. Negara-negara Eropa dan Arab telah berupaya untuk menghindari konflik penuh antara keduanya.
"Mengamankan perdamaian dan stabilitas di wilayah sensitif di Timur Tengah dan di Teluk Persia tidak mungkin tanpa bantuan Iran," tegas Rouhani.