Presiden Maithripala Sirisena memaafkan seorang biksu garis keras yang dituduh menghasut kekerasan terhadap minoritas muslim dan dihukum karena menghina pengadilan. Demikian disampaikan para pejabat Sri Lanka pada Rabu (22/5).
Kantor presiden tidak memberi alasan apapun atas pengampunan tersebut. Namun, langkah itu dikritik think tank keamanan sebagai pukulan terhadap kedaulatan hukum Sri Lanka.
Pengampunan terhadap Galagoda Aththe Gnanasara Thero, pemimpin kelompok Buddha garis keras Bodu Bala Sena (BBS), datang sepekan setelah umat ekstremis Buddha menyerang rumah, masjid dan toko-toko milik warga muslim sebagai pembalasan atas bom Minggu Paskah yang menewaskan lebih dari 250 orang oleh kelompok militan Islam.
Satu orang terbunuh dalam kerusuhan anti-muslim.
Para menteri dan pemimpin komunitas muslim telah secara terbuka menuduh Gnanasara mengobarkan kekerasan terhadap muslim dan Kristen sebelum sang biksu dipenjara. Namun, Gnanasara membantah tuduhan tersebut.
Dilantha Vithanage, kepala eksekutif BBS, mengatakan dia telah diberi tahu bahwa Presiden Sirisena telah memaafkan Gnanasara.
"Dia tidak akan dibebaskan hari ini karena dokumennya belum selesai," kata Vithanage.
Seorang pejabat Kementerian Kehakiman mengatakan, "Kantor presiden telah mengirim dokumen yang relevan untuk mengampuni biksu Gnanasara ke kementerian."
Para biksu telah mendesak pembebasan Gnanasara. Mereka memiliki pengaruh kuat dalam politik Sri Lanka.
"Sebuah pukulan besar bagi aturan hukum Sri Lanka yang sudah babak belur, mengirimkan pesan yang salah setelah serangan Paskah," twit Alan Keenan, direktur proyek Sri Lanka di International Crisis Group.
Gnanasara dijatuhi hukuman enam tahun penjara pada Agustus lalu karena insiden 2016 ketika dia menyela sidang pengadilan tentang penculikan jurnalis di mana tertuduhnya adalah pejabat intelijen militer. Gnanasara juga dijatuhi hukuman dalam kasus terpisah pada Juni karena mengancam istri jurnalis tersebut.
Sejak 2014, biku tersebut telah menghadapi tuduhan dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan anti-muslim, ucapan kebencian, dan memfitnah Alquran.
Pada tahun yang sama pula Gnanasara menandatangani perjanjian dengan Ashin Wirathu Myanmar, yang pernah menggambarkan dirinya sebagai "Burma bin Laden", dalam apa yang disebut keduanya sebagai upaya untuk melawan upaya konversi regional oleh para Islamis.