Wakil Menteri Luar Negeri RI A. M. Fachir mengatakan bahwa Indonesia dan negara-negara Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) sedang melakukan proses ratifikasi dari Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA).
"Saat ini, Indonesia dan negara-negara EFTA sedang melakukan proses ratifikasi CEPA. Kita perlu bekerja keras untuk membuat perjanjian itu mulai berlaku dan selesai diratifikasi pada 2020," tegas Wamenlu Fachir dalam "Indonesia-EFTA Business Forum 2019" di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Senin (15/7).
Setelah diskusi selama tujuh tahun, Indonesia dan keempat negara EFTA menandatangani IE-CEPA pada 16 Desember 2018. Negara-negara EFTA tersebut terdiri dari Swiss, Islandia, Norwegia dan Liechtenstein.
Fachir menyampaikan bahwa pada 2014-2018, ekspor Indonesia ke negara-negara EFTA tumbuh hingga 267%, sementara nilai perdagangan tumbuh 73%. Tercatat pada 2018, nilai perdagangan Indonesia-EFTA menyentuh US$2 miliar.
"Meskipun angka yang ada menunjukkan tren positif setiap tahunnya, masih banyak ruang untuk melakukan perbaikan. Saya percaya IE-CEPA akan memperkuat kemitraan ekonomi kita," ujarnya.
Fachir berharap, melalui IE-CEPA, negara-negara EFTA dapat memfasilitasi lebih banyak produk Indonesia ke pasar Eropa.
"IE-CEPA akan membantu memandu Indonesia, Swiss, Islandia, Norwegia dan Liechtenstein melalui ketidakpastian ekonomi global saat ini," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Hubungan Ekonomi Bilateral Kementerian Ekonomi Swiss Erwin Bollinger menyatakan bahwa IE-CEPA bertujuan untuk mendukung pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan demi kemakmuran Indonesia.
"Perjanjian itu mempromosikan investasi dan menciptakan kerangka kerja yang stabil serta memiliki kepastian hukum," jelas Bollinger.
3 fokus kerja sama
Sementara proses ratifikasi sedang berlangsung, Fachir mengatakan bahwa Indonesia dan EFTA perlu memprioritaskan kerja sama pada tiga hal.
"Pertama, pemerintah dan sektor swasta harus membangun saluran komunikasi yang terbuka dan efektif," jelas Wamenlu Fachir.
Para pelaku bisnis dari negara-negara yang terlibat harus aktif berpartisipasi dalam diskusi yang akan mendorong pemahaman yang lebih baik antara sektor publik dan swasta.
Kedua, lanjutnya, komunitas bisnis di Indonesia perlu meningkatkan interaksi dengan mitra di negara-negara EFTA.
"Saya mengamati bahwa banyak pengusaha Indonesia belum memanfaatkan pasar EFTA, mereka lebih fokus menggarap pasar tradisional seperti pasar negara-negara Uni Eropa. Jadi, kami membutuhkan lebih banyak forum untuk saling terlibat," kata dia.
Yang ketiga, Fachir mendorong para pelaku bisnis Indonesia untuk sepenuhnya memanfaatkan peluang yang nantinya akan lahir dari IE-CEPA.
Selain itu, Wamenlu Fachir juga meminta negara-negara EFTA untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia. Hal itu, tambahnya, sejalan dengan visi Presiden Joko Widodo yang menekankan tekad dan komitmen pemerintahannya untuk fokus pada peningkatan lingkungan dan fasilitas investasi di Indonesia.
"Indonesia memiliki sistem tata pemerintahan yang demokratis dan ini akan berkontribusi baik terhadap stabilitas politik. Itu tentunya bagus untuk komunitas bisnis karena akan membantu menciptakan kepastian yang lebih besar terkait kebijakan pemerintah," jelas Fachir.
Diplomasi ekonomi, ujar Fachir, telah menjadi pilar penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Dia menekankan bahwa pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator, pelaku bisnislah yang menjadi aktor nyata.
Senada dengan Wamenlu Fachir, Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan RI Ni Made Ayu Marthini menegaskan bahwa IE-CEPA tidak akan berjalan jika pelaku bisnis tidak bergerak.
"Perjanjian ini hanya landasan, untuk menggerakkannya, perlu bantuan dari seluruh pihak terutama para pelaku bisnis Indonesia dan negara-negara EFTA," tuturnya.