Ribuan warga Thailand turun ke jalan ibu kota pada Minggu (14/11) menuntut reformasi monarki. Protes tersebut datang sebagai tanggapan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Thailand pekan lalu.
MK menganggap seruan untuk reformasi monarki pada Agustus tahun lalu tidak konstitusional, dan dirancang untuk menggulingkan institusi hukum tersebut.
Seorang juru bicara polisi mengatakan, tiga pengunjuk rasa terluka pada demo Minggu tersebut. Para pengunjuk rasa berbaris melawan barisan polisi anti huru hara di belakang perisai sambil melambaikan plakat bertuliskan “Tidak ada monarki absolut” dan “Reformasi bukan penghapusan”.
"Kekuasaan raja yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir menarik Thailand menjauh dari demokrasi dan kembali ke monarki absolut. Ini adalah perjuangan untuk menegaskan bahwa negara ini harus diperintah oleh sistem di mana setiap orang setara," kata seorang pengunjuk rasa membacakan tuntutannya setelah demonstrasi mencapai kedutaan Jerman di Bangkok.
Pada Oktober 2020, para pengunjuk rasa juga berbaris menuju kedutaan Jerman untuk mendesak negara tersebut menyelidiki apakah Raja Maha Vajiralongkorn yang menghabiskan sebagian besar waktunya di negara itu.
“Kata reformasi tidak setara dengan penghapusan,” kata seorang pengunjuk rasa, Peeyawith Ploysuwan.
Ia menambahkan, pihak berwenang hanya ingin melakukan hal-hal yang mereka inginkan, dan melihat orang-orang dengan pandangan yang berlawanan sebagai orang jahat.
Aksi protes di Thailand terbentur undang-undang lese majeste menetapkan hukuman penjara hingga 15 tahun bagi siapa pun yang dihukum karena mencemarkan nama baik monarki.
Menurut catatan yang dikumpulkan oleh kelompok Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand, sejak protes tahun lalu, setidaknya terdapat 157 orang yang didakwa berdasarkan hukum.