close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kota Rio de Janeiro, Brasil. Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Ilustrasi kota Rio de Janeiro, Brasil. Alinea.id/Oky Diaz
Dunia
Selasa, 08 Juni 2021 16:52

Rio, setelah ibu kota pindah ke Brasilia

Jakarta bisa bernasib seperti Rio de Janeiro jika ibu kota negara jadi pindah ke Kalimantan.
swipe

Komponis Antonio Carlos Jobim dan pujangga Vinícius de Moraes tengah nongkrong di Veloso Bar di kawasan Ipanema, Rio de Janeiro, Brasil, saat gadis bermata hijau emerald itu lewat. Dara berusia 18 tahun itu semampai. Kulitnya kecokelatan karena terbakar matahari dan rambutnya hitam bergelombang. 

Nama gadis remaja itu Heloisa Eneida Menezes Pais Pinto. Dia warga asli Ipanema. Helo, panggilan akrab Heloisa, konon salah satu gadis tercantik di kawasan pantai itu. Pada suatu hari di musim panas tahun 1962 itu, Helo kemungkinan baru pulang dari sekolahnya saat tak sengaja "berpapasan" dengan Jobim dan Moraes. 

Menyaksikan kecantikan Helo, kedua pria beristri itu langsung "jatuh cinta" lagi. Alkisah, keduanya langsung bikin lagu terinspirasi kemolekan sang dara. Pada selembar tisu, Moraes menulis lirik untuk lagu tersebut. 

"Dia (Helo) adalah paradigma dari carioca (warga asli Rio) muda: gadis remaja emas, sebuah kombinasi bunga dan putri duyung, penuh dengan cahaya dan keindahan," tulis Moraes dalam Revelação: a verdadeira Garota de Ipanema.

Lagu itu kelak dinamai "Garotta de Ipanema" atau "Girl from Ipanema". Saat dinyanyikan penyanyi Astrud Gilberto pada 1963, lagu itu "meledak". Lagu itu kian tenar setelah dinyanyikan ulang oleh legenda musik jazz dunia Frank Sinatra beberapa tahun berikutnya. Ketika itu, kepopuleran "Girl From Ipanema" bahkan mampu menyaingi tembang "Yesterday" milik the Beatles. 

Lagu "Girl from Ipanema" menandai puncak gelombang musik bossa nova, fusi antara samba dan jazz yang berkembang di Rio sejak 1950-an. Musik diwarnai ketukan tamborin dan sentuhan gitar klasik. Ritme yang dihasilkan terasa mengayun. 

Dalam sebuah wawancara dengan Radio Eldorado pada September 1989, musisi kondang Brasil, Chico Buarque mengatakan, bossa nova lahir di sebuah sekolah gitar yang didirikan kawasan pantai Copacabana, Rio de Janeiro pada pertengahan 1950. 

"Itu adalah era euforia. Ada perasaan nasionalisme dan bangga yang kuat. Anda adalah seorang warga negara Brasil, suka menjadi orang Brasil dan Anda ingin ikut membangun sebuah bangsa," tutur Buarque.

Bossa nova muncul berbarengan dengan Cinema Novo, gerakan teater baru di Brasil. Lirik-lirik lagu bergenre bossa nova, kata Buarque, menunjukkan realita "manis" di sejumlah area di Rio ketika itu: pantai, bunga, langit biru, dan perempuan-perempuan cantik. 

Foto udara suasana di salah satu pantai di Rio de Jenairo, Brasil. Foto Unsplash/Raphael Nogueira

Keindahan Rio tak hanya jadi magnet bagi kaum seniman dan musisi. Disokong pertumbuhan kawasan komersial dan finansial karena penemuan cadangan minyak dan industrialisasi besar-besaran, Rio tumbuh jadi salah satu pusat ekonomi Brasil dan mampu memikat gelombang kaum imigran dari segala penjuru.

Dalam "The Favellas of Rio de Janeiro: A Temporal and Spatial Analysis", Greg O' Hare dan Michael Barke menulis Rio tumbuh sebagai kota modern karena berkembangnya industri manufaktur, tekstil, furnitur dan minuman pada pertengahan 1950-an. 

"Kota ini mampu mempertahankan kekuatan komersialnya meskipun ekpor kopi menurun sejak 1870-an hingga kini. Antara tahun 1960 sampai 1970, gelombang industri baru lahir di kota itu. Pabrikan kapal direstrukturisasi dan sejumlah perusahaan berbasis teknologi berdiri," tulis Barke dan O' Hare. 

Dari dalam dan luar negeri, para imigran berbondong-bondong ke Rio dan sejumlah kota besar di selatan Brasil. Pada 1950, jumlah populasi di Rio tercatat hanya sekitar 3 juta. Satu dekade berselang, jumlahnya naik hingga hampir mencapai 7 juta. 

Mayoritas penghuni baru Rio adalah keluarga miskin. Ketika tiba di Rio, kebanyakan dari mereka membangun favela (permukiman kumuh) di pinggiran Rio, terutama di kawasan utara yang didesain jadi hub industri. 

Pada 1950, tercatat ada setidaknya 170 ribu warga Rio yang tinggal di favela. Tiga dekade berselang, jumlahnya meningkat hingga lebih dari tiga kali lipat. Kebanyakan dari para penghuni favela bekerja di sektor informal atau sebagai buruh. 

"Diperkirakan, satu per tiga kelas pekerja di Rio ada di sektor informal. Meskipun salah satu kota terindah di dunia--dengan danau, pantai, permukiman elite dan kawasan ritel di pusat kota--kemiskinan terlihat jelas di Rio," jelas Barke dan O' Hare. 

Salah satu permukiman kumuh di Rio de Janeiro, Brasil. /Foto dok Human Rights Watch

Tersedot Brasilia dan Sau Paulo 

Menjamurnya favela ketika itu ialah pertanda Rio tak bisa tumbuh lagi sebagai sebuah metropolis. Salah satu penyebabnya ialah keterbatasan geografis. Di utara dan Barat, Rio dihalangi oleh pegunungan dan perbukitan. Di selatan dan timur, Rio dibatasi oleh laut. 

Selain karena alasan-alasan politis, situasi itulah yang kemudian mendorong Presiden Brasil Juscelino Kubitschek de Oliveira memindahkan ibu kota dari Rio ke Brasilia pada 1960. Berlokasi di jantung Brasil, Brasilia dibangun hanya dalam tempo empat tahun dengan sebagian besar dana pembangunan mengandalkan utang luar negeri.

Menurut Jared Kelly dalam "The City Sprouted: The Rise of Brasilia" yang terbit di Jurnal Cosilience pada Juli 2020, pemindahan ibu kota itu berdampak buruk pada Rio. Punya lahan yang luas untuk mengakomodasi urbanisasi, harga tanah yang murah, dan tak direcoki kepentingan politik, Brasilia kala itu jadi tujuan utama pebisnis dan migran. 

"Perkembangan Brasilia menyedot investasi dan sumber daya intelektual dari bekas ibu kota. Perekonomian Rio, yang pernah dinamis, mulai menurun setelah sejumlah perusahaan swasta dan milik negara pindah ke Brasilia," jelas Kelly. 

Brasilia, kata Kelly, mengambil alih kekuatan politik federal yang dipegang Rio saat masih jadi ibu kota negara samba. Bersamaan dengan itu, kuasa atas perusahaan dan industri milik negara juga pindah tangan. 

"Selain itu, Brasilia juga memikat berbagai jenis industri, seperti bank, agensi publik, finansial, teknologi informasi, farmasi, telekomunikasi, dan pertelevisian. Banyak perusahaan memindahkan bisnisnya dari Rio," kata dia. 

Ilustrasi pembangunan kota Brasilia. /Foto Pixabay

Selain digerus Brasilia, Rio juga kalah bersaing dengan Sao Paulo, kota rival yang sama-sama berlokasi di selatan Brasil. Tak punya kendala geografis, Sao Paulo punya ruang tumbuh untuk mengakomodasi lebih banyak industri dan imigran. 

Pada periode 1968-1973, perekonomian Sao Paulo tumbuh rata-rata sekitar 5% per tahun. Pada dekade 1970-an, di tengah krisis ekonomi, Sao Paulo menggantikan Rio sebagai pusat komersial, finansial, dan kultural Brasil. 

Sejak tak jadi ibu kota, menurut Kelly, investor asing juga menjauhi Rio. Itu setidaknya terlihat dari kenaikan jumlah investasi asing di Sao Paulo. Di sisi lain, investor lokal pun lebih cenderung memillih Brasilia sebagai tempat berbisnis. 

"Simbol kemunduran itu bisa dilihat dari jatuhnya bursa saham di Rio de Janeiro dilampaui oleh bursa saham Sao Paulo. Akhirnya, pada 2002, BOVESPA, bursa saham Sao Paulo mengakuisisi bursa saham Rio, tulis Kelly. 

Pada 2013, Sao Paulo mampu menarik investasi asing senilai US$1,4 miliar atau terbesar bagi sebuah kota di Amerika Latin. Ketika itu, lebih dari 50% perusahaan multinasional Brasil juga membuka kantor di Sao Paulo. 

Menurut Kelly, Rio berupaya bangkit dengan membangun zona ekonomi khusus di pinggiran kota. Lahan di zona khusus itu disewakan dengan harga terjangkau supaya perusahaan-perusahaan manufaktur di Rio bisa tetap bersaing. 

"Akan tetapi, upaya-upaya itu tidak berhasil menghentikan eksodus industri. Antara 1989 hingga 1997, sebanyak 22% dari perusahaan industri di Rio memindahkan usahanya ke kota lain di Brasil," jelas Kelly. 

Penggali kubur membawa peti jenazah Avelino Fernandes Filho, 74 tahun, saat pemakamannya yang meninggal dunia akibat penyakit virus korona (COVID-19) di Rio de Janeiro, Brazil, Senin (18/5). Foto Antara/Reuters/Ricardo Moraes

Berevolusi menjadi kota kriminal 

Keputusan pemerintah "meninggalkan" Rio tak hanya berdampak pada perekonomian saja. Sempat dikenal sebagai kota yang damai dan ramah pada para pelancong, Rio perlahan-lahan berubah menjadi kota sarang para kriminal dan bramocorah. 

Sebagaimana dikaji Michael Misse dalam The Social Accumulation of Violence in Brazil, angka kejahatan di Rio terus naik secara signifikan. Jumlah kasus pembunuhan, misalnya, naik dari 10 kasus per seratus ribu penduduk pada 1950-an menjadi 30 kasus per seratus ribu penduduk pada 1970-an. 

Salah satu jenis kejahatan paling marak ketika itu ialah perampokan bank. Pada mulanya, pelaku utamanya ialah milisi urban yang berjuang melawan kediktatoran pemerintah pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Mereka merampok untuk mendanai perang melawan militer. 

"Belakangan, penjahat kelas teri,  yang biasanya hanya menyerang supermarket dan pom bensin, juga ikut-ikutan merampok bank-bank. Pada pertengahan 1970-an, kejahatan dengan kekerasan (perampokan) berkembang melebihi kejahatan terhadap properti tanpa disertai kekerasan (pencurian) ," jelas Misse. 

Pada dekade 1980-an, favela-favela di Rio mulai jadi sarang sindikat obat-obatan terlarang. Ketika itu, Rio sudah jadi tempat singgah koka dan narkotika jenis lainnya dari kartel Kolombia dan Bolivia sebelum tiba di Australia, Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa. 

Kelompok kriminal, menurut Misse, bisa mudah menguasai favela-favela lantaran kehadiran pemerintah yang minim. Seiring waktu, mereka dikenal dengan sebutan militia dan mulai mempersenjatai diri dengan bedil dan pistol. 

Sikap keras pemerintah Rio terhadap para penyelundup narkoba tak membantu. Alih-alih meredakan tingkat kejahatan, polisi Brasil malah memperparah kondisi keamanan di favela. Laporan Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International menunjukkan kekerasan dan pembunuhan oleh polisi terhadap terduga kriminal terus naik sejak awal 1990-an. 

Pada kajian yang dirilis tahun 2015, HRW mencatat setidaknya ada 8.000 orang yang dibunuh polisi Rio karena diduga terkait sindikat narkoba sejak 2006. Sebagian pembunuhan merupakan upaya mempertahankan diri saat kontak senjata dengan kelompok bersenjata, sebagian lainnya merupakan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings). 

"Polisi menembak orang-orang yang tak bersenjata. Mereka menembak mereka dari belakang saat mereka melarikan diri. Mereka mengeksekusi orang-orang yang telah ditahan dengan tembakan ke kepala," tulis HRW dalam laporan bertajuk "Good Cops Are Afraid: The Toll of Unchecked Police Violence in Rio de Janeiro" pada 2015. 

Hingga kini, Rio masih dikenal sebagai salah satu kota paling berbahaya di dunia. Pembunuhan terhadap polisi oleh geng narkoba terus berulang. Polisi membalasnya dengan menyerbu favela dan membantai kelompok kriminal. Di tengah kontak senjata, warga tak berdosa, termasuk di antaranya anak-anak, turut jadi korban. 

Apa yang terjadi di Rio saat ini, menurut Misse, ialah "akumulasi sosial kekerasan" yang terjadi selama bertahun-tahun. Proses itu ditandai dengan memburuknya kondisi ekonomi, membesarnya kesenjangan sosial antara si kaya dan miskin, dan diskriminasi negara terhadap warga favela. 

"Secara historis, proses itu bisa didemarkasi terjadi antara periode 1950-an dan sekarang. Proses itu terjadi di Rio. Akan tetapi, pada momen-momen tertentu, pengaruhnya juga meluas hingga ke kota-kota lain," kata Misse. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan