Lawatan Menteri Pertahanan (Menhan) RI, Prabowo Subianto, ke Gedung Pentagon dan bertemu Menhan Amerika Serikat (AS), Lloyd Austin III, pada Kamis (20/8) waktu setempat, dinilai tak sebatas menindaklanjuti rencana pembelian jet tempur F-15. Namun, sebagai upaya Indonesia menjadi pemain kunci dalam menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik.
"Pertemuan Menhan Prabowo dengan Menhan Austin dapat dilihat dalam kerangka ini," ucap Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, kepada Alinea.id, Jumat (28/10).
Dirinya menyampaikan demikian lantaran Indonesia harus meningkatkan posisi tawarnya (bargaining) serta memperkuat diplomasi ekonomi dan pertahanannya, terutama dengan China dan AS sebagai dua kekuatan utama di Indo-Pasifik. Oleh sebab itu, perlu meningkatkan kepercayaan serta mengurangi rasa takut dan kesalahpahaman dengan kedua pihak yang berseteru tersebut.
Fahmi mengungkapkan, terjadi tren peningkatan belanja pertahanan yang mengarah perlombaan persenjataan dalam setahun terakhir. Ini dilakukan dalam merespons agresivitias China, terutama di perairan Natuna Utara, dan terbentuknya pakta pertahanan trilateral AUKUS, yang beranggotakan Australia, Inggris, dan AS, disertai rencana pembangunan beberapa kapal selam bertenaga nuklir.
"Meskipun [peningkatan belanja pertahanan] diklaim sebagai bentuk perimbangan kekuatan demi stabilitas kawasan, keberadaan AUKUS dan agresivitas Tiongkok, itu sulit dipungkiri justru berpotensi memicu ketegangan dan eskalasi konflik sewaktu-waktu," ungkapnya.
Langkah Menhan tersebut, sambung Fahmi, juga dilakukan lantaran ASEAN sebagai salah satu aktor penting kawasan Indo-Pasifik tampak ambigu. Ini imbas perbedaan sikap dan kepentingan beberapa negara anggotanya, terutama terhadap AS dan China, seperti kecenderungan memosisikan diri sebagai proksi bagi dua kekuatan utama itu.
"Sulit terwujudnya sikap bersama dan multilateralisme ASEAN, memaksa Indonesia–sebagai disputing state di perairan Natuna Utara sekaligus sebagai negara yang berhimpitan dengan Australia di selatan–untuk secara mandiri merespons segala dinamika itu dengan kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, dan pertahanan yang cenderung pragmatis atas nama politik luar negeri bebas aktif dan kepentingan nasional," tuturnya.
"Tentunya ini tidak mudah, harus dilakukan secara cermat dan berhati-hati agar tak menimbulkan kesalahpahaman yang berpotensi meningkatkan perselisihan dan ketegangan menjadi konflik terbuka," imbuh dia.
Menurut Fahmi, Indonesia mesti menunjukkan relasinya dengan AS adalah hubungan berbasis kesepahaman kepentingan dan kemitraan, bukan hegemoni-proksi. Dalam konteks diplomasi pertahanan, itu disebut sebagai defence diplomacy for confidence building measures.
"Rencana pembelian F-15 bisa saja merupakan salah satu agenda turunan yang didiskusikan selain komitmen-komitmen lain, seperti kerja sama latihan-pelatihan, pengembangan alutsista bersama, dan lain-lain," paparnya.
"Ini bukan soal keseriusan [pembelian F-15], melainkan soal memastikan dan menjajaki adanya peluang manfaat-manfaat tambahan dan kelonggaran dari batasan-batasan, termasuk dari potensi embargo dan syarat penggunaan tertentu, yang bisa diperoleh jika pembelian dapat direalisasikan," tandas Fahmi.