Seorang wanita tewas tertembak dan lebih dari 20 orang terluka dalam bentrokan antara pendukung oposisi dan angkatan bersenjata di Caracas, Venezuela, Rabu (1/5), tepat pada peringatan May Day atau Hari Buruh.
"Jurubith Rausseo (27) meninggal di sebuah klinik setelah kepalanya diterjang peluru selama demonstrasi," twit LSM Venezuelan Observatory of Social Conflict lewat.
Ketegangan di Venezuela melonjak sejak Juan Guaido, yang mengepalai badan legislatif Majelis Nasional, mendeklarasikan dirinya sebagai presiden sementara pada 23 Januari setelah dia mengklaim bahwa kemenangan Nicolas Maduro tahun lalu tidak sah.
Pasukan Garda Nasional menembakkan gas air mata ke pengunjuk rasa yang melempar batu dan berusaha untuk memblokir jalan raya yang dekat dengan pangkalan udara di Caracas timur.
Hari kedua konfrontasi antara pendukung oposisi dan pasukan keamanan yang setia kepada Maduro terjadi ketika Amerika Serikat menyatakan siap untuk mengambil tindakan militer, jika perlu, untuk menbendung krisis di Venezuela.
Setidaknya satu wartawan terluka ketika pasukan Garda Nasional menembakkan peluru karet ke sekelompok wartawan yang meliput bentrokan tersebut.
Guaido memanfaatkan momentum Hari Buruh untuk menggalang para pendukungnya di Caracas, meminta mereka untuk tetap berada di jalan-jalan.
Seruan Guaido tersebut datang setelah satu hari sebelumnya terjadi pemberontakan berujung kegagalan yang dilakukan oleh sejumlah tentara anggota Garda Nasional Bolivarian yang bergabung dengan timnya.
Sebelumnya, dalam bentrokan pada Selasa (30/4), pemantau HAM mengungkapkan bahwa satu orang tewas. Pemerintah dan organisasi HAM menyatakan bahwa lebih dari 150 orang ditangkap.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan pemerintah Venezuela untuk tidak menggunakan kekuatan mematikan terhadap demonstran, sementara AS dan Rusia saling menuduh, membuat krisis lebih buruk.
Dalam pembicaraan via teleponnya dengan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyebutkan, Moskow telah mengganggu stabilitas Venezuela.
Pada gilirannya, Lavrov, menuduh bahwa campur tangan atas krisis Venezuela lewat dukungannya kepada Guaido telah merusak dan melanggar hukum internasional.
"Tidak ada yang dapat dirayakan oleh para pekerja," kata Guaido kepada para pendukungnya di negeri yang pernah sangat makmur karena kaya minyak, namun belakangan menderita hiperinflasi serta kekurangan makanan dan obat-obatan hingga memaksa jutaan orang melarikan diri. "Kita akan tetap turun ke jalan sampai kita mencapai kebebasan bagi rakyat Venezuela."
Guaido yang diakui sebagai presiden sementara oleh 50 negara menambahkan, "Rezim akan berusaha meningkatkan penindasan. Mereka akan mencoba melakukan persekusi terhadap saya karena melakukan kudeta."
Maduro tuding AS dalangi kudeta
Dalam pidatonya pada Rabu, Maduro menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai kudeta telah dilakukan dari Gedung Putih oleh penasihat keamanan nasional AS John Bolton.
Beberapa jam setelah pemberontakan gagal tersebut, kepada CNN Pompeo mengatakan, dia yakin Maduro akan melarikan diri ke Kuba sebelum kemudian berhasil dibujuk oleh Rusia untuk tetap tinggal.
Klaim Pompeo tersebut disangkal oleh Maduro dan dicapnya sebagai lelucon.
Sementara itu, seorang pejabat senior Brasil mengatakan bahwa sedikitnya 25 tentara Venezuela telah mencari suaka di kedutaan besarnya di Caracas.
Pasukan keamanan Venezuela berjumlah sekitar 365.000 orang termasuk di dalamnya militer dan polisi. Venezuela disebut memiliki 1,6 juta pasukan paramiliter.
Pada Rabu, Pompeo mengatakan bahwa Washington menginginkan transfer kekuasaan secara damai. Tetapi memperingatkan bahwa Presiden Donald Trump siap untuk mengambil tindakan militer jika diperlukan.
"Presiden sangat jelas dan sangat konsisten. Tindakan militer mungkin dilakukan. Jika itu yang diperlukan, itulah yang akan dilakukan AS," kata Pompeo kepada Fox Business Network.
Venezuela telah menderita lima tahun resesi yang ditandai dengan kekurangan kebutuhan dasar serta kegagalan layanan publik, termasuk air, listrik dan transportasi. (AFP)