Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Selandia Baru Winston Peters menyampaikan belasungkawa atas tewasnya WNI bernama Lilik Abdul Hamid dalam serangan teror di Masjid Al Noor, Christchurch, pada Jumat (15/3).
Selain seorang WNI, dipastikan ada 49 orang lainnya yang tewas akibat aksi teror di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood.
"Kami di sini untuk menyampaikan belasungkawa kepada Pak Lilik, juga untuk dua WNI yang terluka parah dan masih dirawat di rumah sakit," kata Wakil PM Peters dalam konferensi pers bersama Wakil Presiden RI Jusuf Kalla di Fairmont Hotel, Jakarta, Rabu (20/3).
Peters merujuk pada seorang ayah dan anak yang menderita luka akibat tertembak saat serangan teror di Masjid Linwood.
Dia menegaskan bahwa pemerintah Selandia Baru akan mengerahkan seluruh tenaga untuk mendukung keluarga-keluarga korban.
Peters memastikan otoritas Selandia Baru akan mengembalikan seluruh jenazah korban kepada keluarga masing-masing serta memakamkan mereka dengan layak.
"Juga akan ada acara penghormatan bagi para korban tewas dan terluka pada pekan depan setelah kami memastikan seluruh jenazah dikembalikan kepada keluarga," kata Peters.
Wakil PM Selandia Baru berterima kasih atas dukungan Indonesia di masa sulit terkait penanganan serangan teror di Christchurch.
"Sangat penting bagi dunia untuk memahami bahwa hanya dengan toleransi dan pengertian, kita dapat membangun dunia ini," tegas Peters.
Wapres Kalla pun menyampaikan apresiasi Indonesia atas pemerintah Selandia Baru yang segera menangkap, menindak tegas, dan mengecam pelaku penembakan yang kini sedang menanti untuk diadili.
Peters menyambut baik wacana peningkatan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Selandia Baru terkait tindakan kontraterorisme pascapenembakan Christchurch.
"Saya sangat setuju terkait rencana itu," katanya.
Selain mengecam tindakan terorisme itu, pemerintahan Perdana Menteri Jacinda Ardern merespons tragedi di Christchurch dengan melakukan reformasi terhadap UU persenjataan.
"Teror pada Jumat sore itu selamanya mengubah negara kami dan hukum senjata kami," tutur Peters.
Namun, Peters menekankan untuk sekarang pemerintah akan terlebih dahulu berfokus pada upaya menangani korban luka dan menghormati korban tewas.
"Jawaban terkait hukum senjata akan datang sebentar lagi, kira-kira pekan depan PM Ardern akan menyampaikan prinsip-prinsip yang mendukung realisasi UU itu sebelum disahkan di Parlemen," lanjutnya.
Wakil PM Selandia Baru mengatakan pihak berwenang di negaranya terus mencari pihak lain yang terkait dengan pelaku penembakan di Christchurch, seorang warga Australia bernama Brenton Tarrant.
"Secara pribadi, saya melihat bahwa pelaku melakukan aksinya sendiri. Tapi sangat sulit bagi kami untuk mencari tahu bagaimana dan siapa yang mendorongnya sehingga dia berani melakukan tindakan keji seperti itu," tuturnya.
Peters menambahkan, pemerintah melihat kemungkinan adanya pihak lain yang sama-sama memiliki pemikiran "idiot, tidak berarti, dan bersifat pengecut" yang dianut oleh pelaku.
Pernyataan Erdogan menuai kontroversi
Saat berkampanye untuk pemilu lokal, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut aksi teror Christchurch sebagai bagian dari serangan terhadap Turki dan Islam. Tidak hanya itu, Erdogan memperingatkan bahwa warga Australia yang antimuslim akan dikirim kembali ke peti mati seperti mereka di Gallipoli.
Pernyataan Presiden Turki tersebut direspons negatif oleh PM Australia Scott Morrison, yang menyatakan bahwa komentar Erdogan ceroboh dan sangat ofensif.
Lebih dari 8.000 warga Australia tewas dalam pertempuran dengan pasukan Turki di Gallipoli.
"Pernyataan yang dibuat oleh Presiden Erdogan saya anggap sangat menyinggung warga Australia dan sangat ceroboh dalam lingkungan yang sangat sensitif ini," kata Morrison setelah meminta penjelasan dari Duta Besar Turki untuk Australia. "Saya berharap dan saya telah meminta agar komentar itu diklarifikasi dan ditarik."
Menanggapi hal tersebut, Peters mengatakan dirinya diutus oleh PM Ardern untuk bertemu Presiden Erdogan secara langsung dalam konferensi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul pada Jumat (22/3).
"Ketika peristiwa ini pecah, menurut saya mungkin Presiden Turki tidak mengetahui detailnya," jelasnya. "Maka itu kami akan pergi ke OKI untuk meluruskan persoalan ini."