Sekretaris Jenderal PBB António Guterres pada hari Senin (6/11) mengulangi seruannya untuk gencatan senjata kemanusiaan dalam perang antara Israel dan Hamas di Gaza. Ia mengatakan gencatan senjata “semakin mendesak seiring berjalannya waktu.”
Jumlah warga Palestina yang tewas di tengah pengeboman besar-besaran dan operasi darat Israel di Jalur Gaza melampaui 10.000 orang pada hari Senin, menurut Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas. Setidaknya 4.104 anak-anak termasuk di antara mereka yang tewas.
Jumlah korban tewas juga termasuk 88 orang yang bekerja dengan badan pengungsi Palestina PBB (UNRWA) – jumlah kematian tertinggi yang pernah dicatat PBB dalam satu konflik, menurut PBB.
“Mimpi buruk di Gaza lebih dari sekedar krisis kemanusiaan. Ini adalah krisis rasa manusiawi,” kata Guterres kepada wartawan pada hari Senin.
“Operasi darat yang dilakukan Pasukan Pertahanan Israel dan pemboman yang terus-menerus menghantam warga sipil, rumah sakit, kamp pengungsi, masjid, gereja, dan fasilitas PBB – termasuk tempat penampungan. Tidak ada yang aman,” katanya.
Dia menuntut Hamas melepaskan sandera yang mereka tahan di Gaza dan meminta Hamas dan militan lainnya agar berhenti menyiramkan "hujan" roket ke arah Israel.
Ia juga mengatakan, “Gaza menjadi kuburan bagi anak-anak.”
“Ratusan anak laki-laki dan perempuan dilaporkan terbunuh atau terluka setiap hari,” katanya.
“Bencana yang terjadi membuat kebutuhan akan gencatan senjata kemanusiaan semakin mendesak seiring berjalannya waktu.”
Gaza terus terguncang akibat krisis kemanusiaan yang kian memburuk. Rumah sakit penuh sesak, dan mengalami kekurangan pasokan medis dan obat-obatan.
Beberapa rumah sakit telah ditutup seluruhnya atau sebagian karena kekurangan bahan bakar, yang diperlukan buat menjalankan generator cadangan sejak Israel memutus aliran listrik ke Gaza pada awal perang.
Sejumlah truk yang membawa bantuan telah memasuki Gaza melalui perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir dalam beberapa pekan terakhir, namun banyak warga Palestina mengatakan mereka kesulitan mendapatkan air minum bersih, makanan, dan kebutuhan pokok lainnya.
Komentar Guterres muncul sehari setelah pimpinan beberapa badan PBB dan kelompok bantuan mengeluarkan seruan bersama untuk gencatan senjata kemanusiaan.
“Selama hampir sebulan, dunia menyaksikan situasi yang terjadi di Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina dalam keterkejutan dan kengerian atas meningkatnya jumlah nyawa yang hilang dan terkoyak,” bunyi pernyataan bersama tersebut.
Para pemimpin menyebut serangan teroris Hamas pada 7 Oktober, ketika 1.400 orang di Israel terbunuh, puluhan ribu orang mengungsi, dan lebih dari 200 orang, termasuk anak-anak, diculik dan dibawa ke Gaza, “menakutkan.”
“Namun, pembunuhan mengerikan terhadap lebih banyak warga sipil di Gaza adalah sebuah kebiadaban, karena 2,2 juta warga Palestina terputus dari makanan, air, obat-obatan, listrik dan bahan bakar,” tambah mereka, mengacu pada pengepungan Israel di wilayah tersebut.
Mereka menyebut pengepungan Gaza “tidak dapat diterima.”
“Seluruh penduduk terkepung dan diserang, tidak diberi akses terhadap kebutuhan penting untuk bertahan hidup, rumah, tempat penampungan, rumah sakit, dan tempat ibadah mereka dibom.”
Pernyataan tersebut ditandatangani oleh kepala kantor bantuan kemanusiaan PBB, Organisasi Kesehatan Dunia, Program Pangan Dunia, badan anak-anak PBB, Organisasi Internasional untuk Migrasi, badan pengungsi PBB dan badan-badan PBB lainnya. Perjanjian ini juga ditandatangani oleh para pemimpin beberapa kelompok bantuan, termasuk CARE International, Mercy Corps dan Save the Children.
"Kita memerlukan gencatan senjata kemanusiaan segera. Sudah 30 hari berlalu. Cukup sudah. Ini harus dihentikan sekarang," kata para pemimpin badan-badan PBB dan organisasi bantuan.
Israel kecewa
Israel tidak peduli dengan tekanan internasional termasuk PBB untuk melakukan gencatan senjata. Negara Zionist itu juga terang-terangan menyerang Guterres yang mengkritik Israel dan menyampaikan simpatinya terhadap penderitaan warga Gaza.
Guterres mengecam Israel yang menginginkan warga melakukan evakuasi dari utara ke selatan Gaza. Ia juga menyebut serangan Hamas pada 7 Oktober ke Israel, tidak terjadi 'dalam ruang hampa' karena Palestina telah menjadi korban okupasi selama 56 tahun oleh Israel.
Wakil Israel di PBB Gilad Erdan akhir Oktober lalu membalas sikap Guterres itu dengan menolak memberikan visa kepada pejabat PBB yang ingin datang ke Israel.
Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen mengatakan ia kecewa sehingga membatalkan pertemuan dengan Guterres yang seharusnya dilakukan pada 24 Oktober.
“Karena ucapannya [Guterres], kami akan menolak mengeluarkan visa kepada perwakilan PBB,” kata Erdan.
“Kami telah menolak visa untuk Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Kemanusiaan Martin Griffiths. Waktunya telah tiba untuk memberi mereka pelajaran,” Erdan mengungkapkan kekesalannya. (axios, aljazeera)