close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi para pekerja China di sektor industri
icon caption
Ilustrasi para pekerja China di sektor industri
Dunia
Kamis, 05 April 2018 16:40

Sentimen rasial China tak terkait perang dagang

Meningginya tensi dua negara adidaya AS dan China di sektor ekonomi, nyatanya berimbas di kehidupan sehari-hari, termasuk sentimen rasial.
swipe

Meningginya tensi dua negara adidaya Amerika Serikat (AS) dan China di sektor ekonomi, nyatanya berimbas di kehidupan sehari-hari, termasuk gejala meluasnya sentimen rasial. Kendati tak signifikan, namun hal ini tak urung menjadi bara api yang sukar padam dalam relasi dua negara. Apalagi didukung pandangan personal Trump yang oleh Vladimir Putin disebut dengan eksepsionalisme (merasa lebih tinggi dari yang lainnya).

Presiden petahana Rusia itu dalam artikel New York Times, memang secara eksplisit menuding Trump telah mengobarkan potensi konflik yang besar. Padahal menurut Putin, sudah kodrati manusia diciptakan dengan pelbagai perbedaan, tapi kedudukan mereka tetap sederajat. Salah, lanjutnya, jika Trump berusaha memunculkan paham yang lekat dengan primordialisme ala fasisme NAZI ini.

Eksepsionalisme Trump yang sarat dengan mimpi orang-orang Republik sendiri, pada akhirnya menyuburkan sentimen rasial di Paman Sam. Meski tak berakar dari perang ekonomi AS-China, namun mantan diplomat India sekaligus kolumnis Asia Times M. K. Bhadrakumar menyatakan, keduanya saling berkelindan.

AS tak hanya ingin digdaya di bidang ekonomi, tapi juga di sektor lain termasuk di pertahanan militer dan hegemoni pengaruh (politik) di negara-negara lain termasuk di Asia. Untuk mencapai visinya, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan Trump menggunakan strategi lawas, mempertentangkan kalangan bawah dan atas, serta "menjual" persoalan kesenjangan.

Selanjutnya, mencoba mereproduksi rasa takut dengan menjadikan ancaman asing sebagai musuh bersama. Donald Trump dalam kampanyenya kerap mengkambinghitamkan China sebagai musuh yang harus diwaspadai dan upaya ini berhasil. Tak hanya China, Trump juga menebar gagasan terorisme adalah musuh terberat, sehingga intervensi militer dimafhumkan apabila sudah menyangkut isu ini.

“Awas ada ancaman dari Islam, awas tenaga kerja imigran. Yang disebarkan melulu pesimisme dan ketakutan,” katanya.

Terkait dengan sentimen rasial yang spesifik pada warga China yang menjadi imigran di AS, pengamat hubungan internasional UGM Nur Rachmat Yuliantoro angkat bicara. Menurutnya, jauh sebelum isu perang dagang bilateral mengemuka, warga China tidak jadi masuk dalam target pengetatan kebijakan imigrasi AS, laiknya warga Hispanik atau pendatang dari negara muslim.

Meski demikian, tak dipungkiri diskriminasi rasial pada orang China tetap dijumpai, termasuk dalam sektor pendidikan. “Terdapat pula cerita tentang sulitnya (orang China) masuk ke universitas bergengsi di AS, sekalipun secara akademik mereka pintar,” katanya.

Di AS, terdapat 3,46 juta jiwa orang China dari total penduduk AS sejumlah 321 juta. Dilansir indochinatown.com, hal itu secara tak langsung menjadikan imigran China di AS terbesar keempat di dunia. Imigran China ini berbondong-bondong menyesaki AS sejak medio abad ke-19, kala pekerja dibutuhkan untuk penambangan emas dan pembangunan moda kereta api.

Sejak saat itu, imigran China telah membangun komunitas yang kuat, menjaga legasi etnis, dan berbagi identitas mereka. Budaya yang kaya inilah yang jadi alasan PeChinan di Amerika bertahan dan menarik perhatian bagi warga setempat. Bahkan banyak yang kemudian melakukan naturalisasi sebagai warga negara AS.

Lantas apakah perang dagang akan berefek langsung dalam detil relasi warga China dan AS di Paman Sam? Pengamat hubungan internasional dari UNDIP Marten Hanura saat berbincang pada Alinea, menyebutkan sentimen rasial itu hanya jargon Trump. Itu sengaja diciptakan untuk merespons upaya offensif China terkait penetapan tarif dan lainnya.

Untuk peluang deportasi warga China dari Amerika, menurutnya hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari Trump. “Kecuali apabila perang dagang itu meluas, hingga membuat Trump geram dan bereaksi lebih,” tuturnya.

Namun, lanjutnya, melihat kondisi saat ini, ketika budaya dua negara sudah saling berpadu dan bertukar, sukar membayangkan jika China akan “digebuki” oleh warga Paman Sam. “Kita lihat sekarang banyak imigran China yang jadi aktor dan aktris di AS, Bruce Lee contohnya. Di bidang politik pun banyak yang memperjuangkan penghapusan sentimen rasial karena bertentangan dengan HAM. Dari sisi kuliner China bahkan itu jadi kegemaran warga AS dimana-mana,” urainya.

Saat ini sentimen rasial yang terlihat memang didominasi pada orang-orang kulit hitam dan imigran muslim. Bahkan beberapa waktu lalu, sentimen itu sempat pecah menjadi aksi massa di Baltimore, New York, Washington, Boston, dan Ferguson.

Akar masalahnya tak bisa dipungkiri adalah masalah kesenjangan sosial ekonomi. Seperti lagu lama, warga kulit putih dianggap terlampau superior dan mendominasi warga kulit hitam. Relasi patronase tersebut melahirkan prasangka dan diskriminasi berdampak pada kecemburuan sosial.

Di AS, warga kulit putih acap kali mendapat perlakuan dan keistimewaan tertentu. Misal dalam hal impunitas, akses atas pendidikan, kesehatan, dan lainnya.

Namun lagi-lagi kalau bicara dalam konteks imigran China, belum ada ancaman kerusuhan rasial seperti ketakutan yang dikobarkan para ekstrem kanan maupun orang China sendiri. “Semua masih sama, tapi tidak tahu nanti jika negara gagal mencapai negosiasi di bidang ekonomi. Mungkin Trump akan ikut menyasar sektor lain untuk menyerang negara lawan,” pungkas Marten.

 

Baca juga artikel 1 Tarif tinggi untuk produk pertanian AS ke China

dan artikel 2 Mengukur dampak perang dagang AS-China ke Indonesia

 

img
Ayu mumpuni
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan