close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinian. Twitter/@Nikol Pashinian
icon caption
Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinian. Twitter/@Nikol Pashinian
Dunia
Jumat, 13 November 2020 15:29

Sepakati gencatan senjata, warga Armenia minta PM mundur

Pakta ini membuat Armenia memberikan konsesi teritorial Nagorno-Karabakh kepada Azerbaijan.
swipe

Ribuan warga melakukan unjuk rasa di Ibu Kota Armenia, Kamis (12/11) waktu setempat, sebagai protes atas perjanjian gencatan senjata yang diteken Perdana Menteri Nikol Pashinian. Pangkalnya, pakta itu akan memberikan konsesi teritorial kepada Azerbaijan dalam konflik berkepanjangan di Nagorno-Karabakh.

Nagorno-Karabakh terletak di Azerbaijan, tetapi di bawah kendali pasukan etnis Armenia yang didukung Armenia sejak perang separatis di sana berakhir 1994.

Para demonstran menyerbu gedung-gedung pemerintah dan menuntut pakta dibatalkan. Aksi ini merupakan demonstrasi hari ketiga secara berturut-turut menyusul terjadinya gencatan senjata untuk menghentikan pertempuran mematikan yang telah berlangsung selama enam pekan.

Kerumunan orang berbaris melalui pusat Yerevan dan mengecam Pashinian. Mereka meneriakkan "Nikol, pergi!" dan "Nikol si pengkhianat!" Lebih dari 60 orang di antaranya telah ditahan.

Perjanjian yang ditengahi Rusia tersebut meminta Armenia menyerahkan kendali atas beberapa wilayah yang dikuasainya di luar perbatasan Nagorno-Karabakh ke Azerbaijan.

Langkah itu memicu perayaan di Baku, Azerbaijan. Namun, membuat marah warga Armenia dan memaksa mereka turun ke jalan setelah diumumkan Selasa (10/11) pagi.

Selain demonstrasi, partai oposisi Armenia dan pendukungnya dalam rapat paripurna, Rabu (11/11), menuntut Pashinian mengundurkan diri. Pun menyebut perjanjian yang gencatan senjata "berbahaya" dan "memalukan."

Bahkan, dewan mengadakan sesi darurat parlemen untuk melancarkan pemecatan Pashinian pada larut malam. Namun, tidak memenuhi kuorum untuk menindaklanjutinya. Faksi Pashinian memiliki 88 dari 132 kursi di parlemen dan anggotanya tidak hadir.

Sementara itu, pihak berwenang Armenia menahan 10 politisi oposisi dengan tuduhan mengobarkan kerusuhan massal. Sikap tersebut disesalkan anggota partai oposisi Armenia Sejahtera, Naira Zograbyan dan menyebut mereka yang diamankan sebagai tahanan politik.

Armenia dan Azerbaijan terlibat konflik di Nagorno-Karabakh selama beberapa dekade. Pertempuran sengit yang berkobar pada 27 September menandai eskalasi terbesar dalam 25 tahun terakhir karena ditaksir menewaskan ratusan hingga ribuan orang.

Beberapa gencatan senjata dalam enam minggu terakhir gagal menghentikan kekerasan, tetapi kesepakatan saat ini diprediksi bertahan mengingat tidak ada pihak yang melaporkan pertempuran sejak diberlakukan.

Gencatan senjata terjadi beberapa hari setelah Azerbaijan mendorong lebih dalam ke Nagorno-Karabakh dan mengambil alih Kota Shushi, yang secara strategis ditempatkan di ketinggian yang menghadap ke ibu kota regional Stepanakert.

Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, menilai, perjanjian tersebut sebagai "kemenangan gemilang". Sedangkan Pashinian dalam serangkaian pernyataan video mengklaim, tidak memiliki pilihan lain.

Dirinya melanjutkan, meneken pakta setelah militer melaporkan "perang harus segera dihentikan" dan pemimpin separatis Nagorno-Karabakh mengatakan kepadanya "kita bisa kehilangan Stepanakert dalam hitungan jam."

Berdasarkan perjanjian tersebut, Rusia mulai mengerahkan penjaga perdamaian ke wilayah tersebut. Secara keseluruhan ada 1.960 personel. Sedangkan Turki, yang mendukung Azerbaijan dalam konflik tersebut dan berusaha untuk memainkan peran yang lebih penting dalam proses perdamaian, bakal terlibat dalam memantau gencatan senjata.

Menteri Pertahanan Rusia dan Turki menandatangani memorandum Rabu untuk membuat pusat pemantauan bersama di Azerbaijan—langkah yang diumumkan awal pekan ini oleh Aliyev.

Pejabat Rusia menerangkan, keterlibatan Ankara terbatas pada pekerjaan pusat di tanah Azerbaijan. Karenanya, para penjaga perdamaian Turki takkan berada di Nagorno-Karabakh.

"Pusat itu akan beroperasi dari jarak jauh menggunakan alat kontrol teknis, termasuk pesawat nirawak, untuk menentukan situasi di lapangan di Karabakh dan menentukan pihak mana yang mengamati dan mana yang melanggar gencatan senjata," kata Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov. (AP)

img
Angelin Putri Syah
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan