close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi / Pixabay
icon caption
Ilustrasi / Pixabay
Dunia
Selasa, 18 Desember 2018 12:38

Serbia menentang keras pembangunan militer Kosovo

Kosovo telah berulang kali menyatakan bahwa keberadaan militernya tidak akan mengancam orang-orang Serbia Kosovo.
swipe

Dalam sebuah sesi Dewan Keamanan PBB yang berlangsung pada Senin (17/12), sejumlah kekuatan dunia membahas niat Kosovo untuk membangun angkatan bersenjatanya. Keinginan tersebut ditentang keras oleh Serbia dan Rusia.

Berbicara di hadapan DK PBB, Presiden Serbia Aleksandar Vucic mengatakan dia sangat khawatir dan sedikit takut dengan perkembangan di kawasan tersebut.

Vucic mendesak perwakilan internasional untuk memengaruhi pemimpin Kosovo. Dia menyatakan bahwa "seseorang harus mengekang, harus menjinakkan mereka, karena tindakan yang mereka ambil baru-baru ini adalah sesuatu yang tidak koheren dengan Abad 21."

Pada saat yang sama, Vucic mengecilkan kekhawatiran terkait kemungkinan campur tangan Serbia secara militer atas pembentukan pasukan Kosovo.

"Kami akan menahan diri untuk mengambil langkah yang salah di masa depan, karena kami banyak menderita di masa lalu dan kami tidak memiliki sumber daya manusia lagi untuk digunakan dalam berbagai jenis perang, permusuhan, dan bentrokan," papar Vucic.

'Kami selalu menjadi korban'

Pada gilirannya, Presiden Kosovo Hashim Thaci menuturkan bahwa satu-satunya ancaman bagi perdamaian adalah 'seruan irasional untuk perang dan konflik' yang datang dari Beograd.

"Jika Kosovo membuat kesalahan, maka itu adalah menunggu lima tahun untuk membangun pasukan," ungkap pemimpin Kosovo tersebut seraya menambahkan bahwa keputusan untuk membangun pasukan akan membawa lebih banyak perdamaian dan stabilitas. "Kami selalu menjadi korban, kami selalu pihak yang berjuang untuk bertahan hidup."

Utusan Rusia untuk PBB Vitaly Churkin memaparkan bahwa pembentukan angkatan bersenjata Kosovo adalah "pelanggaran berat" dari resolusi PBB 1244 yang disahkan setelah perang berakhir pada 1999.

"Resolusi itu mengandung tuntutan yang sangat jelas mengenai demiliterisasi kelompok bersenjata Albania Kosovo," kata Churkin yang juga mengecam upaya mediasi Uni Eropa yang dinilainya nyaris tidak ada hasil.

Parlemen Kosovo melakukan pemungutan suara pada Jumat (14/12) untuk mengubah pasukan keamanan Kosovo yang ada (KSF) menjadi sebuah angkatan bersenjata.

Sebelum berangkat ke New York untuk menghadiri sidang DK PBB, Presiden Thaci mengatakan pihaknya akan tetap dengan keputusannya.

"Apa pun yang terjadi di Dewan Keamanan, terlepas dari keprihatinan seorang individu atau negara tertentu, pembentukan militer Kosovo adalah langkah yang tidak dapat diubah," ungkap Presiden Thaci.

Kosovo telah berulang kali menyatakan bahwa keberadaan militer tidak akan mengancam orang-orang Serbia Kosovo. Otoritas bahkan bermaksud untuk merekrut 5% dari 5000 pasukan dari kalangan minoritas Serbia.

Namun, banyak mitra internasional Serbia dan Kosovo takut bahwa pembentukan militer Kosovo akan melahirkan konflik bersenjata baru di Balkan, sekitar dua dekade setelah berakhirnya Perang Kosovo.

Kebuntuan antara Beograd dan Pristina bermula dari konflik militer tahun 1990-an, ketika orang-orang Albania memulai pemberontakan bersenjata sebagai respons atas penindasan Serbia. Dan Serbia menanggapinya dengan tindakan keras militer.

Pada 1999, NATO meluncurkan pengeboman 78 hari hingga memaksa Slobodan Milošević menarik mundur pasukannya. Ribuan etnis Serbia meninggalkan Kosovo bersama para tentara dan polisi Serbia, dan banyak lainnya yang dipaksa keluar oleh orang-orang Albania dalam kerusuhan pada 2014. Intervensi yang dipimpin Amerika Serikat membuat Albania Kosovo menjadi sekutu kuat bagi Washington.

Sekitar 120.000 orang Serbia diyakini masih tinggal di wilayah Kosovo, sebagian besar dari mereka berkumpul di empat wilayah mayoritas Serbia di utara Kosovo.

Otoritas yang didominasi Albania Kosovo mendeklarasikan kemerdekaan dari Serbia pada 2008. Namun, langkah tersebut ditentang keras oleh Beograd dengan dukungan Rusia. Sementara sebagian besar negara Barat mengakui Kosovo, sejumlah negara anggota Uni Eropa menentangnya hingga hari ini. China juga termasuk salah satu yang menolaknya.

Dalam beberapa tahun terakhir, Uni Eropa telah memediasi pembicaraan tentang normalisasi hubungan antara Beograd dan Pristina. Namun, sebagian besar pembicaraan terhenti.

Pada November lalu, Serbia berhasil melobi untuk mencegah Kosovo bergabung dengan Interpol. Marah oleh langkah itu, Pristina menampar tarif 100% atas impor Serbia, mengabaikan kesepakatan perdagangan bebas regional. Uni Eropa mengecam langkah tersebut sebagai pelanggaran jelas dan meminta Pristina untuk segera mencabutnya.

Langkah itu meningkatkan tekanan ekonomi di daerah kantong Serbia di utara. Beberapa hari kemudian, pasukan keamanan Kosovo melakukan serangan langka ke sejumlah wilayah yang dikuasai Serbia untuk menangkap empat tersangka pembunuhan politikus Oliver Ivanovic.

Dengan langkah untuk menciptakan pasukan pada pertengahan Desember, Serbia Kosovo dan Beograd khawatir Pristina mungkin bersiap untuk mengklaim wilayah di utara Kosovo dengan kekuatan paksa.

Perdana Menteri Serbia telah memperingatkan bahwa Beograd dapat merespons dengan mengerahkan pasukan. Dia menegaskan bahwa respons militer "sayangnya adalah salah satu opsi di atas meja."

"Kami tidak bisa berdiri dan menonton seseorang melakukan pembersihan etnis lain," kata Ana Brnabic.

Perdana Menteri Kosovo Ramush Haradinaj, seorang mantan pemimpin gerilyawan, menekankan bahwa tentara "milik semua" dan akan "berpihak untuk kebebasan."

"Tentara tidak akan pernah digunakan melawan orang-orang kami sendiri, apakah di selatan, di utara, atau di sini di rumah, tentara Kosovo tidak akan pernah digunakan melawan mereka," tulisnya di Twitter. (Deutsche Welle)

img
Khairisa Ferida
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan