Amerika Serikat menarik pasukannya dari Libya pada Minggu (7/4) di tengah gelombang kekerasan di ibu kota Tripoli. Hal ini disampaikan oleh komandan utama AS untuk Afrika.
"Realitas keamanan lapangan di Libya tumbuh semakin kompleks dan tidak dapat diprediksi," ungkap Jenderal Thomas Waldhauser, kepala komando AS untuk Afrika pada Minggu lewat sebuah pernyataan. "Meski dengan penyesuaian pasukan, kami akan terus tangkas dalam mendukung strategi AS."
Pasukan AS, yang memberikan dukungan militer untuk misi diplomatik, kegiatan kontraterorisme dan meningkatkan keamanan regional, telah dipindahkan sementara sebagai respons meningkatnya kerusuhan.
Kolonel Chris Karns, juru bicara untuk Komando Afrika, menegaskan bahwa pergerakan pasukan tidak akan memengaruhi kemampuan untuk merespons ancaman dan target.
"Untuk alasan keamanan, saya tidak akan menentukan di mana pasukan ini akan berada," kata Karns. "Adalah penting bahwa kelompok seperti ISIS, tidak memiliki peta yang tepat tentang keberadaan kami, tetapi sebaliknya kami menggunakan sumber daya kami yang terbatas di benua itu untuk penyesuaian dengan cepat, efisien, dan bekerja efek maksimal."
Libya yang dilanda perang saudara selama bertahun-tahun kembali memanas dalam beberapa hari terakhir ketika Jenderal Khalifa Haftar mendesak untuk mengambil alih ibu kota.
Pada Minggu, Tentara Nasional Libya (LNA), mengatakan pihaknya telah meluncurkan serangan udara yang menargetkan pasukan yang didukung PBB di Tripoli selatan.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo merilis pernyataan yang menyerukan Haftar untuk menghentikan serangan.
"Kami telah menjelaskan bahwa kami menentang serangan militer oleh pasukan Khalifa Haftar dan mendesak penghentian segera operasi militer terhadap ibu kota Libya," sebut Pompeo lewat sebuah pernyataan pada Minggu.
Pompeo menyatakan tidak ada solusi militer bagi konflik Libya. Dia juga mengimbau para pemimpin Libya dan mitra internasional lainnya kembali ke jalur negosiasi yang dimediasi oleh PBB.
Misi PBB untuk Libya (UNSMIL) menyerukan gencatan senjata kemanusiaan mulai dari pukul 16.00 hingga 18.00 waktu setempat di selatan kota, sehingga ambulans dapat dengan aman mengevakuasi warga sipil yang terluka.
Pasukan di bawah komando jenderal Libya yang membangkang membuat pergerakan mengejutkan pada Kamis di ibu kota, di mana pemerintahan yang diakui PBB, Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA), memiliki basis.
GNA telah mengumumkan serangan balasan untuk mempertahankan Tripoli ketika pasukan Haftar semakin mendekat.
Pada Minggu, stasiun televisi Al Ahrar yang berbasis di Tripoli menyiarkan bahwa juru bicara angkatan bersenjata GNA Mohammed Qanouno mengumumkan peluncuran operasi militer yang dijuluki "Volcano of Rage", yang bertujuan membersihkan seluruh kota di Libya dari hal-hal terlarang.
Pasca-jatuhnya Gaddafi
Delapan tahun sejak Moammar Gaddafi digulingkan dan dibunuh pada Oktober 2011, Haftar telah menjadi salah satu dari segelintir orang kuat.
Berbasis di Benghazi, Haftar yang terlibat dalam upaya kudeta yang membawa Gaddafi ke tampuk kekuasaan pada 1969, sudah memegang kendali atas sebagian besar Libya timur. Dan dia pun membidik Tripoli.
Kelompok militan yang bertikai tidak jarang memperebutkan kendali atas kota-kota berpenduduk padat, dan hal tersebut telah mencegah pemerintahan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj untuk sepenuhnya memegang kendali kekuasaan.
Terdapat beberapa suku yang bersaing untuk menguasai kekayaan minyak Libya yang semakin menipis, serta sejumlah kelompok militan, termasuk ISIS, yang tersebar di negeri yang porak-poranda akibat perang itu.
"Kepada pasukan kami yang ditempatkan di perbatasan Tripoli hari ini, kita melanjutkan pawai perjuangan dan menanggapi permintaan rakyat kita di ibu kota sebagaimana yang kita janjikan kepada mereka," demikian pernyataan Haftar dalam rekaman audio yang diunggah di akun Facebook medianya pada Kamis (4/4).
Dia menambahkan, "Keselamatan tamu asing dan institusi-institusi kita harus dipastikan."
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berada di Benghazi pekan lalu untuk melakukan pembicaraan dengan Haftar demi mendorong perjanjian perdamaian. Namun, pertemuan tersebut berakhir tanpa hasil.
Guterres mengatakan, dia meninggalkan Libya dengan berat hati dan keprihatinan mendalam. "Saya masih berharap bahwa memungkinkan untuk menghindari konfrontasi berdarah di dalam dan sekitar Tripoli."
Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) telah menyuarakan keprihatinan tentang bagaimana bentrokan yang sedang berlangsung akan berdampak pada pengungsi dan migran yang terjebak di pusat-pusat detensi di daerah tersebut.
"Keamanan migran di pusat detensi, terutama, memprihatinkan jika ada peningkatan aksi militer," ujar Direktur Jenderal IOM António Vitorino pada Jumat (5/4). "Nasib semua warga sipil Libya dan keselamatan pekerja kemanusiaan juga tetap menjadi perhatian utama."
Pemerintah Libya yang didukung PBB menyatakan, setidaknya 21 orang tewas dan 27 lainnya luka-luka dalam pertempuran di dekat Tripoli. (CNN dan BBC)