Anggota Komite Hubungan Luar Negeri Chinese People's Political Consultative Conference (CPPCC) Yang Yanyi memaparkan empat poin terkait perang dagang antara China dengan Amerika Serikat.
Poin pertama, Yang menyatakan bahwa hubungan perdagangan kedua negara saling menguntungkan dan AS jelas mendapat manfaat dari globalisasi ekonomi serta perdagangan dengan China.
"Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah AS mengklaim bahwa hubungan perdagangan kedua negara timpang dan China mengambil keuntungan lebih besar," tutur Yang dalam diskusi bertajuk "China-US Relations" pada Rabu (3/7) di Pakarti Centre, Jakarta.
Dia menegaskan bahwa klaim AS itu menyesatkan dan tidak memiliki dasar yang kuat.
"Kenyataannya, AS mendapat manfaat besar dari pertumbuhan dan peluang ekonomi yang dihasilkan oleh China," lanjutnya.
Yang menyatakan bahwa saat ini Washington merupakan pasar ekspor terbesar Beijing dan sebagian besar keuntungan dari hubungan perdagangan kedua negara mengalir ke bisnis-bisnis AS.
Kedua, Yang menjelaskan bahwa ketimpangan perdagangan AS bukan diakibatkan oleh China, melainkan karena sistem ekonomi negara itu yang tidak berfungsi dengan baik.
"Struktur ekonomi domestik menjadi penyebab utama ketimpangan perdagangan. Defisit perdagangan AS merupakan hasil dari kegagalan sistem ekonominya," tegasnya.
Untuk mengatasinya, Yang menuturkan AS perlu mereformasi sistem ekonomi serta berfokus membangun lingkungan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
"Namun, sangat disayangkan, pemerintah AS kini mengambil jalan pintas dan berupaya mengatasi siapa pun yang mereka anggap menghalangi jalan," lanjut Yang.
Alih-alih mengedepankan negosiasi dan dialog, Yang menyebut bahwa pemerintahan Donald Trump justru menggunakan senjata-senjata seperti sanksi, tarif, daftar hitam dan isolasi keuangan untuk mengatasi perselisihan dagang.
Dalam poin ketiganya, Yang memperingatkan bahwa pendekatan unilateral dan proteksionisme yang AS gunakan juga dapat berdampak buruk bagi warganya sendiri.
Yang menilai bahwa secara global, langkah-langkah unilateral AS terhadap sejumlah mitra dagangnya telah mengganggu pertumbuhan ekonomi global.
"AS perlu sadar bahwa perang dagang juga berdampak negatif bagi bisnis, pekerja dan masyarakat umum AS," tutur wanita yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Misi China untuk Uni Eropa itu.
Lebih lanjut, Yang mengatakan sikap agresif AS hanya akan merusak kredibilitas dan reputasi internasional Negeri Paman Sam.
"AS yang tidak membuka diri untuk bekerja sama dengan negara lain juga melemahkan upaya global untuk mengatasi tantangan transnasional," ujarnya.
Dalam poin keempat, Yang meminta masyarakat internasional untuk menyadari bahwa inti dari permasalahan yang sedang dihadapi saat ini merupakan kebijakan internasional apa yang harus diperjuangkan.
"Masalah yang dunia hadapi melampaui tarif dan sanksi ekonomi, tetapi sudah merambat ke rusaknya kepercayaan antarnegara dan terganggunya ketertiban internasional," ungkapnya.
Yang menyerukan agar dunia terus mendorong gagasan kesetaraan, multilateralisme, supremasi hukum dan perdagangan bebas dalam hubungan perdagangan global.
Beijing, lanjutnya, telah berkomitmen menggunakan segala cara untuk membuka diri kepada dunia dan mendukung sistem perdagangan yang mengikuti aturan internasional.
"China juga ingin membangun hubungan dengan AS berdasarkan koordinasi, kerja sama, dan stabilitas. Tanpa kerja sama dan solusi win-win, hubungan kedua negara tidak dapat terjalin dengan baik," kata Yang.