Solidaritas Sukarno terhadap Palestina dan sikap mendua Orde Baru
Sudah lebih dari sepekan Israel memborbardir Gaza, Palestina dengan serangan udara. Roket-roket Hamas dan militan Palestina pun meluncur sebagai balasan. Ratusan nyawa melayang dan ribuan luka-luka akibat perang ini.
Bentrok dan kekerasan sudah terjadi sejak 13 April 2021 di Kota Yerusalem. Eskalasi Israel-Palestina makin memanas sejak 22 April 2021. Saat itu, polisi Israel mengusir para pemuda Palestina yang protes larangan berkumpul selama bulan Ramadan di luar Gerbang Damaskus, Yerusalem.
Konflik makin meruncing setelah pada 7 Mei 2021 warga Palestina yang ada di kompleks Masjid Al-Aqsa diserang polisi Israel. Melalui akun Twitter pribadinya pada Sabtu (15/5), Presiden Joko Widodo mengecam agresi Israel yang sudah menewaskan ratusan korban jiwa, termasuk perempuan dan anak-anak.
Mesra Palestina-Indonesia
Palestina sudah mendukung kemerdekaan Indonesia, bahkan sebelum negara ini memproklamasikannya. Dukungan itu berasal dari Mufti Yerusalem, Palestina, bernama Syekh Muhammad Amin al-Husayni.
Menurut M. Zein Hassan di dalam buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri (1980), pada September 1944 di Radio Berlin berbahasa Arab, ia mengucapkan selamat atas kemerdekaan Indonesia. Berita itu disiarkan dua hari berturut-turut.
Amin al-Husayni sendiri melarikan diri ke Jerman saat permulaan Perang Dunia II. Kemerdekaan yang dimaksud berdasarkan pernyataan yang disampaikan Perdana Menteri Jepang Kuniaku Koiso pada 7 September 1944 dalam sidang istimewa Teikoku Henkai ke-85 di Tokyo atau Janji Koiso.
Ketika itu, Indonesia masih dalam pendudukan Jepang. Janji Koiso berisi janji Kekaisaran Jepang memberi kemerdekaan Indonesia di kemudian hari. Selain Radio Berlin, harian Al Ahram yang berpusat di Kairo, Mesir juga menyiarkan janji kemerdekaan Indonesia tersebut.
Usai Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. Dukungan pun mengalir dari negara-negara Timur Tengah.
Pada 1947, Belanda melakukan agresi militer di Jawa dan Sumatera. Zein yang diberi mandat menjadi Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia pun gencar melakukan diplomasi ke negara-negara Arab.
Setelah terjadi agresi militer Belanda II pada 1948—yang menyebabkan ibu kota Indonesia saat itu, Yogyakarta, jatuh dan pemimpin seperti Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir ditangkap, Palestina pun tak surut memberi dukungan.
“Muhammad Ali Taher, pemimpin Palestina yang mencintai Indonesia sejak lama, suatu hari menarik tangan saya ke Bank Arabia dan mengeluarkan semua uangnya, kemudian memberikannya kepada saya, dan mengatakan, ‘terimalah semua kekayaan saya untuk memenangkan perjuangan Indonesia’,” tulis Zein.
Dukungan pun berbalas. Menurut Zein, pengulas berita pada RRI Yogyakarta yang disiarkan Ikhwanul Muslimin di Kairo, Mesir pada 3 Oktober 1947 menyatakan, Indonesia menentang pembagian wilayah Palestina antara penduduk asli Arab dan pendatang Yahudi.
Dilansir dari History dalam “Palestine”, 11 Mei 2021, setelah dua dekade kolonial Inggris menguasai Palestina, PBB mengusulkan membagi Palestina menjadi dua bagian, yakni negara Israel dan Arab merdeka.
Kota Yerusalem yang diklaim sebagai ibu kota oleh orang Yahudi dan Arab Palestina, direncanakan menjadi wilayah internasional dengan status khusus. Para pemimpin Yahudi sepakat, tetapi banyak orang Arab Palestina yang menentangnya.
Hingga akhirnya, pada Mei 1948 setelah Inggris menarik diri dari Palestina, Israel mendeklarasikan negara merdeka. Dimulailah babak baru perang Arab-Israel, yang melibatkan Israel dan lima negara Arab, yakni Yordania, Irak, Suriah, Mesir, dan Lebanon.
Sebagai negara baru, Israel berusaha mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Usaha itu terlihat pertama kali ketika Presiden Chaim Weizman dan Perdana Menteri Israel Davin Ben Gurion mengirimkan telegram kepada Sukarno dan Mohammad Hatta terkait pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda pada Desember 1949.
Lalu, menurut Greg Barton dan Colin Rubenstein dalam “Indonesia and Israel” A Relationship in Waiting” yang terbit di Jewish Political Studies Review, Maret 2005, pada Januari 1950 Menteri Luar Negeri Israel Moshe Sharett mengirim kembali telegram kepada Perdana Menteri—kemudian jadi Wakil Presiden—Mohammad Hatta—bahwa Israel memberi pengakuan kemerdekaan penuh kepada Indonesia.
“Hatta hanya menanggapinya dengan ucapan terima kasih, tetapi tak memberikan sentimen timbal balik terkait pengakuan diplomatik,” tulis Barton dan Rubenstein.
Lain Sukarno, lain Orde Baru
Sejak 1953, Sukarno mulai menyiapkan sebuah konferensi negara-negara Asia dan Afrika. Konferensi Asia Afika (KAA) kemudian digelar di Bandung, Jawa Barat pada April 1955. Menurut Barton dan Rubenstein, Indonesia dan Pakistan menentang partisipasi Israel dalam KAA.
Mufti Syekh Muhammad Amin al-Husayni hadir mewakili Palestina di KAA. Masalah Palestina pun dibawa ke konferensi.
Wildan Sena Utama dalam buku Konferensi Asia-Afrika 1955 (2017) menulis, negara-negara Arab sangat kritis terhadap masalah Palestina dan mengutuk zionisme Israel sebagai imperialisme yang kejam. Namun, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru enggan menggolongkan zionisme sebagai imperialisme.
“Nehru memohon perhatian peserta untuk tidak melupakan penderitaan orang Yahudi selama teror Hitler. Menurut Nehru, pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman adalah salah satu alasan mengapa Yahudi mendesak pendirian negara Israel,” tulis Wildan.
Menurut Wildan, KAA akhirnya menghasilkan resolusi tentang Palestina, yang menyatakan dukungannya kepada hak bangsa-bangsa Arab atas Palestina, menyerukan dilaksanakannya resolusi PBB mengenai Palestina, dan dicapainya suatu penyelesaian dengan jalan damai.
Sikap antiimperalisme Sukarno sangat keras. Bahkan, hingga menyentuh ranah olahraga.
Ia menolak kehadiran atlet-atlet Israel dan Taiwan—negara baru yang didukung Barat—dalam ajang Asian Games 1962 yang diadakan di Jakarta. Karena sikapnya, perwakilan International Olympic Committee (IOC) sekaligus pendiri Asian Games asal India, Guru Dutt Sondhi datang ke Jakarta dan menyatakan legitimasi Asian Games 1962 tak bakal diakui IOC.
“Sukarno marah besar. Meski India dan Perdana Menteri Jawaharlal Nehru adalah sahabat dirinya, Sukarno tak peduli,” tulis Arief Natakusumah dalam Drama itu Bernama Sepak Bola (2008).
“Ia menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan IOC. Sambil menuduh IOC sebagai corong imperialis, ia merancang Olimpiade tandingan bernama Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada November 1963.”
Ketika itu, Sukarno pun menyatakan kalimatnya yang terkenal, dikutip di mana-mana, terkait dukungan penuh kepada Palestina: Selama kemerdekaan Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajah Israel.
Di masa Orde Baru, sikap Soeharto pun tetap mendukung kemerdekaan Palestina. Hal ini setidaknya terekam dalam pertemuan Hari Solidaritas Internasional Bersama Masyarakat Palestina yang diadakan di PBB sejak 1978, setiap 29 November.
Pada peringatan Hari Solidaritas Internasional Bersama Masyarakat Palestina tahun 1986, dalam pidato tertulis yang dibacakan Kepala Perwakilan Rl di PBB Nana Sutresna, Soeharto menyatakan, rakyat Palestina yang merdeka dan berdaulat sebelum 1967 merupakan syarat mutlak bagi penyelesaian damai di Timur Tengah.
“Presiden Soeharto menekankan, tiap penyelesaian harus ditandai dengan penarikan mundur pasukan Israel dari seluruh wilayah Arab yang direbut tahun 1967, termasuk Yerusalem,” tulis Kompas edisi 2 Desember 1986, termuat di buku Presiden RI ke-II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita (2008).
Mengutip History, 11 Mei 2021, pada 1967 terjadi perang enam hari antara Israel dengan Suriah, Mesir, dan Yordania. Di akhir perang, Israel berhasil menguasai Jalur Gaza, Tepi Barat, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan.
Namun, tampaknya sikap Soeharto terhadap Palestina terkesan mendua. Secara diam-diam, pada 1980-an militer Indonesia pernah bekerja sama dengan Israel melalui operasi rahasia bersandi Operasi Alpha.
Operasi ini dirancang Benny Moerdani, yang ketika itu menjabat Kepala Badan Intelijen Strategis ABRI. Menurut F. Djoko Poerwoko—yang ketika itu ikut dalam operasi rahasia tersebut—dalam bukunya Menari di Angkasa (2007), pada 4 Mei 1980 paket pesawat jet A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok, Jakarta, usai diangkut dengan kapal laut dari Israel.
Setelah itu, gelombang berikutnya didatangkan setiap lima minggu. Angkatan Udara berhasil mendatangkan 32 pesawat A-4 Skyhawk pada September 1980.
“Operasi Alpha merupakan operasi klandestin terbesar yang pernah dilakukan Angkatan Udara Indonesia. Tanpa pernah terlacak, kita berhasil mendatangkan pesawat jet dari sebuah negara yang sama sekali tidak memiliki hubungan diplomatik,” tuis Djoko.
Operasi itu sengaja dibuat senyap agar tak terjadi polemik di masyarakat bahwa kita pun main belakang dengan Israel.
Lewat kunjungan diam-diam pula, pada 1993 Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin mengunjungi Jakarta. Pertemuan dengan Soeharto berlangsung singkat, hanya sejam.
Menurut laporan TEMPO edisi 23 Oktober 1993 berjudul “Empat Jam yang Mengundang Tanya”, Soeharto tak menemui Rabin di Istana Negara, tetapi di kediamannya di Jalan Cendana, Jakarta.
“Tampaknya Soeharto tak ingin mengesankan bahwa Rabin diterima oleh kepala negara Indonesia. Di kediaman pribadinya, Soeharto berlaku sebagai Ketua Gerakan Nonblok,” tulis TEMPO.
Dalam pertemuan singkat itu, dikatakan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Rabin mengisahkan proses perdamaian Israel dan Palestine Liberation Organization (PLO). Ketika Rabin menyinggung hubungan diplomatik dengan Indonesia, Soeharto menjawab akan melihat perkembangan terlebih dahulu.
Tampaknya, Israel di bawah Rabin sudah tak sabar mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Pada 21 Oktober 1995 pukul 20.00 waktu setempat—atau 22 Oktober 1995 pukul 09.00 WIB, ketika Soeharto menghadiri peringatan 50 tahun PBB di New York, Rabin secara khusus mendatangi hotel tempat Soeharto menginap.
Dikutip dari Republika edisi 22 Oktober 1995, yang termuat dalam buku Presiden ke-II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita (2008), dalam pertemuan itu, Rabin menjelaskan perkembangan terakhir proses perdamaian Israel-Palestina.
Akan tetapi, keinginan Rabin berhubungan baik dengan Indonesia tak pernah terwujud. Sikap Rabin yang melunak harus dibayar mahal dengan nyawanya.
Sejumlah pihak di Israel menolak langkah perdamaian yang diusahakannya. Pada 4 November 1995, 14 hari setelah bersua Soeharto di New York, Rabin tewas diberondong peluru esktrimis sayap kanan Israel, Yogal Amir, dalam sebuah pawai di Tel Aviv.