Aung San Suu Kyi akan bepergian ke Den Haag untuk membela pemerintahannya atas tuduhan melakukan genosida. Pemimpin de facto Myanmar, yang dulu dikenal sebagai ikon demokrasi tetapi sekarang tercoreng oleh relasi dengan apa yang digambarkan penyelidik PBB sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, akan memimpin delegasi ke Mahkamah Internasional (ICJ) bulan depan.
Dalam bulan ini, Gambia, mengajukan dakwaan setebal 46 halaman ke badan kehakiman tertinggi PBB yang menuduh Myanmar melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan dan penghancuran komunitas di Negara Bagian Rakhine, termasuk terhadap etnis Rohingya. Proses persidangan kasus ini akan diadakan dari 10 hingga 12 Desember.
Lebih dari 700.000 anggota komunitas Rohingya, sebuah kelompok minoritas muslim, telah meninggalkan Rakhine sejak Oktober 2016 setelah pasukan keamanan Myanmar memulai operasi pembersihan pascaserangan oleh gerilyawan ke sejumlah pos polisi.
"Militer Myanmar secara sistematis menembak, membunuh, secara paksa menghilangkan, memerkosa, memerkosa secara beramai-ramai, melakukan pelecehan seksual, menahan, memukuli dan menyiksa warga sipil Rohingya serta menghancurkan rumah-rumah, masjid, sekolah, toko-toko dan Alquran," demikian bunyi tuduhan Gambia.
Suu Kyi menghabiskan beberapa tahun sebagai tahanan rumah di Myanmar karena berkampanye untuk demokrasi. Setelah kebebasannya, dia memenangi pemilu dan bertindak sebagai penasihat negara. Bagaimanapun, Suu Kyi tidak memiliki kontrol operasional atas militer.
Putri dari Aung San, pejuang kemerdekaan Myanmar, itu telah berulang kali menolak mengutuk tindakan militer. Suu Kyi mengklaim tidak ada cukup bukti untuk secara definitif mengatakan apa yang telah terjadi di Rakhine.
Kelambanan Suu Kyi telah memicu seruan agar Nobel Perdamaian yang diterimanya pada 1991 dicabut. Namun, menurut Institut Nobel Norwegia, tidak ada ketentuan dalam regulasinya untuk mencabut penghargaan.
Sementara itu, sejumlah penghargaan lain yang diberikan kepada Suu Kyi telah ditarik.
Juru bicara militer Myanmar Brigadir Jenderal Zaw Min Tun mengatakan kepada Reuters bahwa keputusan untuk mengutus Suu Kyi dibuat setelah pihaknya berkonsultasi dengan pemerintah.
"Kami, militer, akan sepenuhnya bekerja sama dengan pemerintah dan kami akan mengikuti instruksi pemerintah," kata dia.
Seorang juru bicara untuk Partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Suu Kyi mengatakan bahwa Suu Kyi yang telah memutuskan untuk menghadapi dakwaan itu sendiri.
"Mereka menuduh Aung San Suu Kyi gagal bicara tentang pelanggaran HAM. Jadi, dia memutuskan untuk menghadapi gugatan itu langsung," ujar Myo Nyunt.
Kantor Suu Kyi menyatakan bahwa Myanmar telah memiliki pengacara internasional terkemuka untuk menghadapi kasus ini.
Gugatan Gambia turut menyebut bahwa 600.000 warga Rohingya yang tersisa di Myanmar berada dalam bahaya nyata dan signifikan dari tindakan genosida lebih lanjut. Gambia menyerukan hukuman bagi mereka yang bertanggung jawab, kompensasi bagi para korban dan segera diakhirinya serangan.
Secara terpisah, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), pekan lalu mengesahkan penyelidikan penuh atas kejahatan yang dilakukan terhadap Rohingya.
Populasi Gambia 95% muslim dan gugatan mereka didukung oleh sejumlah negara muslim lainnya yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Koordinator kampanye koalisi Free Rohingya, Nay San Lwin, mengatakan bahwa gugatan Gambia bersejarah.
"Kami telah menjadi korban genosida yang berlangsung sejak 1978. Kami telah lama mengharapkan keadilan. Saya tidak dapat berkata-kata untuk mengekspresikan kebahagiaan saya," ujar dia.
Nay menambahkan bahwa putusan dari ICJ dapat menjadi langkah awal untuk mengembalikan hak-hak Rohingya.
"Kami telah diusir dari tanah kami, kami ingin kembali hidup di kampung halaman kami di Arakan atau Rakhine dengan martabat, kewarganegaraan penuh dan kesetaraan hak dengan warga Myanmar lainnya," kata Nay.
"Kami menuntut kompensasi, kami membutuhkan perlindungan untuk mencegah serangan lebih lanjut pada kami."
Gambia dan Myanmar adalah penandatangan Konvensi Genosida 1948, yang tidak hanya melarang negara melakukan genosida tetapi juga memaksa seluruh penandatangan untuk mencegah dan menghukum kejahatan genosida. (The Guardian dan Al Jazeera)