Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menuturkan bahwa kasus yang diajukan terhadap negaranya di Mahkamah Internasional tidak lengkap dan menyesatkan. Hal tersebut disampaikannya ketika memulai pembelaannya pada Rabu (11/12) atas tuduhan melakukan genosida terhadap minoritas muslim Rohingya.
Gambia, sebuah negara kecil di Afrika Barat, membawa tuduhannya yang menyebut Myanmar melanggar Konvensi Genosida 1948 ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Gambia mendapat dukungan politik dari 57 anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Kanada, dan Belanda.
Persidangan terkait kasus ini berlangsung pada 10-12 Desember.
Memimpin pertahanan Myanmar di Den Haag, Suu Kyi mengakui bahwa kekuatan yang tidak proporsional mungkin telah digunakan pada waktu-waktu tertentu oleh militer. Tetapi dia juga mengatakan bahwa konflik di Rakhine State kompleks dan tidak mudah dipahami.
"Gambia telah menempatkan gambaran yang tidak lengkap dan menyesatkan tentang situasi faktual di Rakhine," kata dia.
Lebih dari 730.000 warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah militer melancarkan tindakan keras di Rakhine pada Agustus 2017. Mayoritas pengungsi tinggal di kamp-kamp tak layak huni di Bangladesh.
Myanmar bersikeras bahwa operasi militer di Rakhine adalah respons yang dapat dibenarkan untuk mencegah tindakan terorisme dan bahwa tentaranya telah bertindak dengan tepat.
Pada Selasa (10/12), Suu Kyi mendengarkan dengan tenang ketika pengacara untuk Gambia merinci tuduhan mereka tentang penderitaan warga Rohingya di tangan militer Myanmar.
Sebuah foto Suu Kyi dengan tiga jenderal yang juga menteri di kabinet, yaitu Letnan Jenderal Ye Aung, Letnan Jenderal Sein Win, dan Letnan Jenderal Kyaw Swe, ditampilkan di ruang sidang oleh tim hukum Gambia sebagai bukti dari apa yang mereka gambarkan kedekatan Suu Kyi dengan militer. Foto tersebut menunjukkan wajah para jenderal yang tengah tersenyum.
Foto tersebut memicu reaksi luas dari para pendukung Suu Kyi. Mereka mengecamnya lewat media sosial sebagai upaya untuk mengolok-olok Suu Kyi.