close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sebuah spanduk dipasang di situs peringatan korban penembakatn Jumat lalu, di depan Christchurch Botanic Garden di Christchurch, Selandia Baru, Selasa (19/3). /Antara Foto/Reuters.
icon caption
Sebuah spanduk dipasang di situs peringatan korban penembakatn Jumat lalu, di depan Christchurch Botanic Garden di Christchurch, Selandia Baru, Selasa (19/3). /Antara Foto/Reuters.
Dunia
Jumat, 22 Maret 2019 09:51

Teror Selandia Baru, gejala Islamofobia yang picu aksi keji

Islamofobia adalah istilah yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam dan Muslim.
swipe

Seorang lelaki memberondong Masjid Al Noor dan Masjid Linwood, Christchurch, Selandia Baru, dengan senjata semi otomatis pada 15 Maret 2019 siang. Pelaku merekam dan menyiarkan aksi kejam yang menewaskan 50 orang ini secara langsung lewat Facebook. Belakangan diketahui, pria ini bernama Brenton Tarrant, warga negara Australia. Peristiwa teror ini memicu perhatian dunia.

“Itu gejala Islamofobia atau fobia terhadap Islam,” kata pengamat terorisme dari Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Ali Asghar saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (21/3).

Ali mengatakan, selain di Selandia Baru, gejala Islamofobia juga berkembang di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Islamofobia

Warga mengunjungi situs peringatan bagi korban penembakan Jumat lalu, di depan Christchurch Botanic Garden di Christchurch, Selandia Baru, Selasa (19/3). /Antara Foto/Reuters.

Di dalam artikelnya berjudul “Global terror and the rise of Xenophobia/Islamophobia: An analysis of American cultural production since September 11” yang terbit di Jurnal Islamic Studies Volume 49, Nomor 4 (2010), Muhammad Safeer Awan menulis, serangan teroris yang dicurigai berasal dari kelompok Islam pada 11 September 2001 di New York menjadi pemicu bangkitnya sentimen Islamofobia dan xenofobia di Amerika Serikat dan Eropa.

Dihubungi terpisah, pengamat teroris dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, mengatakan pelaku teror Selandia Baru bukan bagian dari supremasi kulit putih, tetapi lebih sebagai penyintas kulit putih. Pelakunya tidak xenofobia, tetapi Islamofobia.

Xenofobia merupakan ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau dianggap asing. Sementara Islamofobia adalah istilah yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam dan Muslim.

“Pelaku hanya benci kepada Muslim yang ada di dunia Barat, yang dianggap mengancam kelangsungan keturunan, kultur, dan agama kaum kulit putih,” kata Al Chaidar saat dihubungi, Kamis (21/3).

Mengacu kepada manifesto setebal 74 halaman berjudul The Great Replacement yang ditulis Tarrant, Al Chaidar melihat ada kecenderungan milenarianisme pada tindakan pelaku.

Milenarianisme adalah sebuah keyakinan suatu kelompok atau gerakan keagamaan, sosial, atau politik tentang transformasi besar dalam masyarakat. Setelah itu, segalanya akan berubah ke arah yang positif atau negatif dan tidak jelas.

“Pelaku sangat mesianik, sangat milenarian. Dia ingin mewujudkan sistem masyarakat baru,” ujar Chaidar. Manifesto The Great Replacement tersebut bersisi sarkasme, dan beberapa tanya jawab.

Dalam manifesto tersebut, pelaku menolak menyebut dirinya sebagai imigran di Selandia Baru. “Tidak, tidak benar-benar (imigran). Seorang Australia yang tinggal di Selandia Baru sama dengan seorang Austria yang tinggal di Bavaria. Mereka tidak akan menggantikan etnis, tidak juga mengganti budaya negara tujuannya. Mereka adalah orang yang sama, dengan budaya sama,” kata Brenton Tarrant di dalam manifestonya.

Di sisi lain, Chaidar masih melihat, banyak orang yang mendukung pelaku. Namun, lanjut Chaidar, banyak juga yang bereaksi negatif terhadap pelaku. Serangan di Utrecht, Belanda salah satu bentuk reaksi negatif pada pelaku.

Meski begitu, serangan di sebuah trem di Kota Utrecht, Belanda, yang dilakukan seorang pria kelahiran Turki, Gokmen Tanis, masih belum dinyatakan sebagai aksi balas dendam terhadap teror di Selandia Baru. Serangan itu mengakibatkan tiga orang tewas, dan beberapa lainnya luka-luka.

Sementara itu, Ali Asghar menilai, serangan di Selandia Baru bisa memicu aksi balas dendam dari kelompok Islam radikal.

“Muslim dengan paham radikal akan menggunakan ide ukhuwah islamiyah untuk menciptakan serangan balasan,” kata Ali.

Ali pun melihat, kelompok yang paling mungkin melakukan serangan balasan di Indonesia berasal dari Jamaah Ansarut Daulah dan Jamaah Islamiyah. “Belakangan muncul kembali Jamaah Islamiyah dengan anggota-anggota lama mereka,” ujar Ali.

Gagal berinteraksi dengan pendatang

Warga melakukan ibadah saat upacara pemakaman seorang korban serangan mesjid di Memorial Park Cemetery di Christchurch, Selandia Baru, Kamis (21/3). /Antara Foto/Reuters

Sedangkan dosen Program Studi Sosiologi Universitas Gadjah Mada Derajad Sulistyo Widhyharto melihat motif pelaku teror Selandia Baru bisa dilihat dari dua latar belakang. Pertama, latar belakang pelaku. Kedua, kondisi Islam yang menguat di Selandia Baru. Derajad pun melihat, pelakunya bukan orang berpandangan sempit.

“Pelaku sebenarnya bukan orang yang tertutup. Ia terbuka dan menerima nilai-nilai lain. Hal ini dibuktikan dengan perjalanannnya ke beberapa negara di wilayah Asia. Yang menarik, ketika ia kembali, ia jadi lebih banyak main komputer,” kata Derajad saat dihubungi, Kamis (21/3).

Di dalam manifestonya, Brenton Tarrant memang mengakui semua kepercayaannya bersumber dari internet. “Kamu tidak akan menemukan kebenaran di tempat lain, selain di internet,” tulis Tarrant.

Perkembangan Islam di Selandia Baru, menurut Derajad, dianggap mengancam oleh pelaku. Konsep komunalitas yang ditunjukkan Islam, lanjut Derajad, mengancam konsep individualitas yang diyakini pelaku.

“Kegagalan itu membuat dia beralih ke supremasi kulit putih. Pelaku adalah individu yang gagal berinteraksi dengan pendatang,” tutur Derajad.

Lebih lanjut, Derajad menuturkan, supremasi kulit putih pernah muncul di Amerika dengan kelompok Ku Klux Klan (KKK) yang dibentuk pada 1865 di Tennessee. Kelompok KKK, kata Derajad, punya kebencian terhadap orang-orang kulit hitam, Yahudi, dan Katolik. Mereka tega menyiksa orang-orang kulit hitam di depan publik, dan membakar rumah mereka.

“Konsep supremasi kulit putih itu akhirnya terus berkembang. Sasaran kebenciannya saat ini tidak hanya kulit hitam, tetapi ke orang-orang imigran, hispanic, hingga Asia,” kata Derajad.

Teror di Selandia Baru, lanjut Derajad, membuat masyarakat Indonesia bisa terpolarisasi. Kelompok masyarakat pertama, akan merefleksikan kembali konsep multikulturalisme, dan kelompok kedua, akan mencari pembalasan dendam.

“Bagi masyarakat yang terlanjur fanatis dan sektarian, kasus ini bisa jadi kebangkitan mereka. Artinya kan itu bisa jadi kekerasan. Hal ini harus diimbangi dengan perspektif multikultural tadi,” ucap Derajad.

Penguatan nilai inklusi tersebut, menurut Derajad, tak bisa dilakukan pemerintah sendirian. Masyarakat, katanya, juga harus terbiasa hidup berdampingan dengan budaya berbeda.

Menanggapi soal aksi keji yang disiarkan langsung melalui Facebook oleh pelaku, Al Chaidar mengatakan, pelaku sengaja melakukannya karena ingin menginspirasi orang lain agar mengikuti langkahnya. Selain itu, tujuannya ingin mengancam kaum Muslim di wilayah Barat.

Sedangkan Derajad mengatakan, media sosial seharusnya bisa digunakan sebagai instrumen perlawanan kebencian pada kasus teror Selandia Baru.

“Facebook memang tidak bisa mengontrol konten terus menerus. Repotnya, ketika kita tidak senang dengan suatu konten, ada prosedur untuk menarik konten tersebut. Ini sesuatu yang kontradiktif dengan digital usage itu sendiri,” kata Derajad.

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan