BERANI. Satu kata untuk menggambarkan sosok kepemimpinan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Dia tak mempedulikan kritikan pedas dari luar negeri dan berbagai aksi demonstrasi di dalam negeri. Duterte tetap melanjutkan kebijakan pemberantasan narkoba dengan menembak mati para bandar narkoba tanpa melalui persidangan.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte
Kepolisian Filipina menyatakan, mereka telah membunuh lebih dari 3.850 bandar narkoba sejak operasi digelar pada tahun lalu. Sejak Kamis (12/10) lalu, strategi Duterte dalam pemberontakan narkoba tidak lagi menjadikan Kepolisian sebagai garda depan. Dia menempatkan Badan Anti-Narkoba Filipina yang mengambil alih pemberantasan barang haram.
Strategi itu diharapkan menarik banyak simpati dari dalam negeri dalam pemberantasan narkoba. Sebagai bukti, jajak pendapat terbaru menunjukkan Duterte mendapatkan dukungan luas. Dia menjadi salah satu pemimpin Filipina yang bisa dipercaya dan meraih kepuasaan tertinggi. Publik Filipina diduga telah merasakan dampak operasi pemberantasan narkoba ala Duterte di mana wilayah Filipina menjadi lebih aman dan nyaman.
Namun demikian, Duterte masih mendapatkan ganjalan dari berbagai negara asing yang menganggap perang melawan narkoba ala dirinya sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dia tidak terima dengan kritikan tersebut. Bahkan pada Rabu (12/10) lalu, Duterte mengancam akan mengusir sejumlah duta besar Uni Eropa (UE).
“Kalian (negara Barat) mengintervensi hubungan dalam negeri kita karena kita miskin. Kamu memberia uang dan kemudian kalian mulai melakukan apa yang seharusnya dilakukan,” tuding Duterte.
“Kalian silakan meninggalkan negara saya dalam 24 jam kedepan, semuanya, semuanya,” ancamnya.
Uni Eropa berpikir seribu kali jika ingin meninggal Filipina. Melalui juru bicara Uni Eropa, mereka membantah telah mengintervensi hubungan dalam negeri. “Uni Eropa dan Filipina akan bekerja secara konstrukif dan produktif bersama-sama dalam kemitraan di berbagai konteks dan bidang,” demikian pernyataan Uni Eropa.