Thailand akan mengadakan pemilu yang telah lama dinanti-nantikan pada 24 Maret 2019. Kelak, itu merupakan yang pertama sejak kudeta militer nyaris lima tahun lalu.
Pengumuman tersebut muncul beberapa jam setelah Raja Maha Vajiralongkorn menandatangani dekrit kerajaan yang meresmikan pelaksanaan pemilu.
Junta militer, yang menggulingkan pemerintah Yingluck Shinawatra lewat kudeta tidak berdarah pada Mei 2014, telah berulang kali menunda pemilu. Mereka mengklaim Thailand belum siap untuk menggelar pemungutan suara.
Semula, pemilu diperkirakan akan diselenggarakan pada 24 Februari, namun pada awal tahun ini junta militer menunda kembali atas dasar kekhawatiran berbenturan dengan persiapan penobatan raja yang akan berlangsung pada 4-6 Mei.
Kemudian pada Rabu (23/1) sore, juru bicara Komisi Pemilihan menegaskan, "Pemilu akan berlangsung pada 24 Maret."
Akhir tahun lalu, junta militer mencabut larangan atas kampanye politik dan demonstrasi yang diberlakukan sejak 2014. Itu mencegah seluruh aktivitas politik dan pertemuan lebih dari lima orang.
Ketika penundaan pemilu berlarut-larut, semakin banyak warga Thailand yang turun ke jalan dalam protes pro-demokrasi selama beberapa pekan terakhir. Mereka menuntut agar junta segera mengumumkan waktu pelaksanaan pemilu.
Pemilu yang diakui secara hukum terakhir kali digelar di Thailand delapan tahun silam, tepatnya ketika Yingluck menjabat. Setelah periode kerusuhan politik, pemilu diadakan lagi pada 2014, namun kemudian oleh pengadilan dinyatakan tidak sah.
Sebelumnya, pemilu telah ditandai oleh protes yang kerap diwarnai kekerasan antara kelompok pro-demokrasi dan pro-militer. Prayut Chan-o-cha, perdana menteri dan pemimpin junta militer, menyerukan ketertiban, kesopanan dan persatuan selama dan setelah pemilu berikutnya.
Demokratis atau tidaknya pemilu kelak dipertanyakan. Sebuah konstitusi baru yang disusun dan disahkan oleh junta dinilai menandai bahwa sistem akan sangat condong untuk mempertahankan kekuatan militer atas parlemen Thailand.
Militer juga telah mengambil sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni membentuk partai politik sendiri untuk mencalonkan diri dalam pemilu.
Sementara itu, Pheu Thai, partai politik Yingluck dan saudaranya, Thaksin Shinawatra, yang menjadi perdana menteri antara 2001-2006, tetap menjadi partai paling populer di Thailand. Banyak yang memperkirakan, Prayut akan kembali menduduki kursi PM mengingat pengaruh militer yang cukup kuat dan dia akan menghancurkan Pheu Thai dalam kepemimpinannya.
Yingluck dan Thaksin sendiri hidup di pengasingan dan dilarang ikut serta dalam kegiatan politik apa pun.