Tingkat kesuburan total Singapura terus menurun dan diperkirakan mencapai titik terendah sepanjang masa sebesar 0,97 pada tahun 2023. Rerata berada dalam tren menurun sejak 2018, ketika berada di angka 1,14. Angka ini terus turun menjadi 1,12 pada tahun 2021, diikuti oleh 1,04 pada tahun 2022.
Nilai tersebut tetap berada di bawah tingkat penggantian 2,1 selama bertahun-tahun. Nilai ini bermakna tingkat kesuburan di mana suatu populasi secara tepat tergantikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Indranee Rajah, Menteri di Kantor Perdana Menteri, mengatakan di parlemen pada hari Rabu (28/2) bahwa ada berbagai alasan rendahnya kesuburan Singapura.
“Beberapa bersifat sementara, misalnya pasangan yang rencana pernikahannya terganggu oleh Covid-19, yang pada gilirannya mungkin menunda rencana menjadi orang tua."
“Yang lain menyebutkan kekhawatiran mengenai biaya finansial dalam membesarkan anak, tekanan untuk menjadi orang tua yang baik, atau kesulitan mengelola komitmen pekerjaan dan keluarga,” katanya.
Tingkat kesuburan total (Total Fertility Rate/TFR) penduduk Singapura hingga sekitar 0,97 persen pada tahun 2023, merupakan penurunan pertama kalinya di bawah satu persen dalam sejarah negara tersebut.
Angka terbaru ini menempatkan Singapura di antara negara-negara dengan tingkat kelahiran terendah secara global. Korea Selatan menduduki puncak daftar dengan 0,72 pada tahun 2023, demikian dilaporkan The Straits Times (ST) pada Rabu (28/2).
Terdapat 26.500 perkawinan penduduk dan 30.500 kelahiran penduduk pada tahun 2023, kata Indranee, yang membawahi Divisi Kependudukan dan Bakat Nasional, yang berada di bawah Grup Strategi di Kantor Perdana Menteri.
“Namun secara keseluruhan, rata-rata terdapat lebih sedikit perkawinan dan kelahiran setiap tahunnya selama lima tahun terakhir, dibandingkan dengan periode lima tahun sebelumnya,” katanya.
Singapura dihadapkan pada “tantangan demografis ganda yaitu tingkat kesuburan yang rendah dan populasi yang menua”, harian ST mengutip perkataan menteri tersebut.
Tantangan-tantangan ini tidak hanya terjadi di Singapura, tambahnya. Misalnya, negara-negara Eropa seperti Italia dan Spanyol terus mengalami rekor jumlah kelahiran terendah setiap tahunnya. Sementara negara tetangga Malaysia dan Thailand juga mengalami penurunan tingkat kesuburan pada tahun 2022.
Indranee mengatakan penurunan angka tersebut mencerminkan perubahan prioritas generasi, dan kaum muda bahkan mungkin tidak menganggap pernikahan atau menjadi orang tua sebagai tujuan hidup yang penting.
"Penurunan TFR mempunyai implikasi serius bagi masa depan Singapura," dia memperingatkan. "Keluarga menjadi lebih kecil dibandingkan sebelumnya, dan semakin banyak pasangan yang harus merawat anak-anak mereka dan orang tua mereka yang lanjut usia," katanya.
Menteri mengatakan, “Dengan lebih sedikit kelahiran, kita akan menghadapi penyusutan angkatan kerja. Mempertahankan dinamisme kita, menarik bisnis global, dan menciptakan peluang bagi generasi berikutnya akan semakin sulit.”
Dia menambahkan bahwa negara-negara seperti Korea Selatan dan Italia telah mengalami hal ini, dan mereka sedang bergulat dengan perlambatan ekonomi dan penurunan upah – yang semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat kesuburan dan perubahan demografi yang diakibatkannya.
Pada tahun 2023, pemerintah Singapura mengumumkan berbagai langkah untuk mendukung pernikahan dan menjadi orang tua, termasuk menggandakan cuti ayah yang dibayar pemerintah menjadi empat minggu mulai tanggal 1 Januari dan meningkatkan manfaat Bonus Bayi.
Hal ini juga mendukung penerapan pengaturan kerja yang fleksibel sebagai bagian dari upaya untuk membantu orang tua yang bekerja mengelola pekerjaan dan komitmen keluarga.
Dalam hal ini, kelompok kerja tripartit sedang mengembangkan pedoman mengenai pengaturan kerja fleksibel yang wajib ditaati oleh pemberi kerja setelah peraturan tersebut diterapkan pada tahun 2024.(straitstimes,scmp)