Masyarakat dunia mungkin belum lupa akan peristiwa penembakan membabi buta yang terjadi pada 20 April 1999 di SMA Columbine, Colorado. Dua siswa remaja yakni Eric Harris dan Dylan Klebold melepaskan sejumlah tembakan ke arah teman-temannya dan para guru di sekolah tersebut. Akibatnya, 13 orang tewas yang terdiri dari 12 siswa dan seorang guru, berikut juga 24 orang terluka. Kejadian tersebut menjadi tragedi besar dalam sejarah Amerika Serikat.
Kini, setelah 19 tahun berlalu. Kejadian serupa kembali terjadi, kali ini korban meninggal akibat tembakan lebih banyak yakni mencapai 19 orang. Pekan ini, seorang remaja yang memiliki senjata api Nicolas Cruz membunuh 17 orang di Douglas High School, Florida.
Remaja yang aktif di media sosial ini mengakui bahwa secara terencana hendak melakukan serangan tersebut. Bahkan usai aksi koboi yang dilakukannya, Cruz sempat masuk ke dua toko untuk mengelabui petugas yang mencarinya. Ia masuk ke Walmart lalu ke McDonalds hingga akhirnya ditemukan polisi satu jam setelah penyerangan.
Serangan mengerikan itu kembali menandaskan kekerasan yang terjadi sekolah Amerika Serikat (AS) sulit untuk dihilangkan. Sang pelaku secara sadar telah meniru apa yang telah terjadi di Columbine.
Seorang psikolog forensik di San Diego J. Reid Meloy mengatakan bahwa Columbine telah mengilhami para remaja melakukan pembunuhan di sekolah. Ia menduga Cruz telah melakukan penelitian ekstensif terhadap penembakan di Columbine, kemudian menirunya.
Fenomena lain, diduga Cruz adalah seorang yang haus publisitas. Ia ingin mendapat banyak perhatian, sebelum peristiwa tersebut banyaknya postingan Cruz di sejumlah media sosial yang menyatakan keinginannya untuk menjadi penembak profesional.
Studi terdahulu atas sejumlah kasus penembakan menunjukkan bahwa para pelaku hampir selalu membocorkan niat mereka. Mereka kerap meninggalkan jejak petunjuk sebelum melakukan penembakan.
Kode Merah
Sebenarnya sekolah di AS memiliki standar penanganan apabila sebuah peristiwa kekerasan yang berujung penembakan. Sejumlah sekolah di AS telah menerapkan standar keamanan mengevakuasi pasca kejadian tahun 1999.
Bahkan anak-anak di sekolah sudah terbiasa dengan ungkapan code red atau kode merah. Saat alarm kebakaran di Douglas High School, lokasi penembakan pekan lalu terjadi, sejumlah guru berteriak 'kode merah'. Sejumlah siswa yang mendengar hal tersebut dan tidak mengerti artinya mengaku bingung. Sehingga mereka keluar masuk dari kelas mencari jalan teraman di kelas.
Sebaliknya, bagi siswa yang telah tahu bahwa ada kode tersebut, mereka langsung bersembunyi di lemari besi. Salah satu siswa yang selamat, Tarr (17 tahun) mengaku telah diberi tahu tentang protokol tersebut selama bertahun-tahun.
"Kakak saya yang berada di sekolah menengah dulu sering bercerita bagaimana harus menghadapi situasi saat adanya latihan bunyi code red," tukas Tarr seperti dikutip The New York Times.
Di sisi lain, kasus ini kembali mempertanyakan Undang-Undang kepemilikan senjata di AS. Salah satu orang tua korban penembakan Alyssa Alhadeff (14 tahun), Lori Alhadeff mengatakan telah mengirim pesan kepada Presiden AS Donald Trump.
Alhadeff menuntut agar pemerintah memperhatikan tentang peredaran senjata di jalanan. Khususnya senjata yang jatuh ke anak-anak muda. Belum ada jawaban tegas terkait tuntutan tersebut dari Trump. Sang presiden hanya mengatakan bela sungkawa atas peristiwa tersebut.
Mesk begitu, Trump berjanji akan membuat sekolah lebih aman dan mempermudah anak-anak ketika menemukan hal yang dinilai bermasalah.
Tentang Nikolas Cruz, seorang tetangganya Paul Gold menyebut bahwa pemuda tersebut memiliki masa kecil yang bermasalah. Bahkan disebutnya bahwa remaja tersebut memiliki masalah emosional.
"Ia didiagnosis menderita autisme dan sulit mengendalikan emosinya. Terkadang, ia memecahkan banyak barang di rumah saat hilang kendali. Namun ia selalu terlihat menyesal setelah melakukannya," tukas Gold.
Teman-teman sepantaran Cruz menilai dirinya sangat berbahaya untuk seumurannya. Cruz pernah diketahui membawa pisau ke sekolah dan mengancam banyak teman-teman sepermainannya. Akibatnya, ia putus sekolah karena sejumlah kelakuannya.