Perwakilan United Nations Population Fund (UNFPA) untuk Malaysia dan Thailand Marcela Suazo menekankan pentingnya untuk menganalisis pola dan topografi untuk lebih memahami pernikahan dini dan paksa pada anak (CEFM).
Suazo menjelaskan bahwa telah ada perubahan dalam pola pernikahan dini di Asia Tenggara.
Ketika berbicara mengenai pernikahan anak, masyarakat biasanya langsung mengacu pada pernikahan anak secara tradisional di mana gadis muda dipaksa menikah oleh orang tuanya.
Namun, menurut Suazo, sekarang, pola pernikahan anak ada pula yang berdasarkan kemauan pribadi dari anak lelaki maupun perempuan.
"Pola pernikahan ini meningkat di banyak negara, juga di Asia Tenggara, seiring dengan meningkatnya aktivitas seksual pranikah. Ini adalah tren penting yang harus diperhatikan," jelas Suazo dalam forum diskusi "Setting the Scene: Understanding the child, early, and forced married in ASEAN" di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Rabu (6/3).
Selain itu, muncul pula tren pernikahan akibat situasi. Dalam pola pernikahan ini, anak perempuan dapat memilih untuk menikah atau dipaksa oleh keluarga untuk menikah karena telah hamil di luar nikah.
Di negara Asia Tenggara, lanjutnya, kehamilan di luar ikatan pernikahan dianggap melanggar norma masyarakat sehingga anak perempuan akan menikah demi berlindung dari stigma, rasa malu, dan beban sosial lainnya.
UNFPA menyoroti tren CEFM yang meningkat di wilayah ASEAN sejak 1999 hingga 2015. Dalam periode tersebut, tingkat kelaziman CEFM dan kehamilan remaja di Asia Tenggara tetap tinggi.
Menurut data UNFPA, wanita berusia 20 hingga 24 tahun yang menikah sebelum menyentuh usia 18 tahun berkisar 35,4% di Laos, 11% di Vietnam, dan 17% di Indonesia.
Sedangkan rata-rata tingkat remaja yang melahirkan di Asia Tenggara adalah 47 kelahiran per 1000 perempuan yang berusia 15-19 tahun. Angka itu lebih tinggi dari Asia Selatan dengan rata-rata 35.
Suazo mengatakan bahwa permasalahan CEFM harus menjadi perhatian utama ASEAN. Menurutnya, ASEAN yang akan segera memasuki era revolusi industri 4.0 akan membutuhkan pengembangan sumber daya manusia sebagai aset terkuat.
"Berinvestasi pada kaum muda dan memberikan kesempatan bagi mereka menjadi kunci untuk memastikan mereka memiliki semua peluang untuk berkembang yang dibutuhkan oleh negara-negara ASEAN," jelasnya.
Lebih lanjut lagi, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti menerangkan bahwa tren CEFM di Indonesia pun meningkat selama 2017-2018.
Pada 2018, di Probolinggo, Jawa Timur, terdapat 4.404 kasus pernikahan anak secara paksa di bawah usia 20 tahun. Di Indramayu, Jawa Barat, ada 304 pernikahan anak yang terjadi pada 2017 dan sebanyak 720 penikahan selama Januari hingga Juli 2018 di Sulawesi Selatan.
Dalam kesempatan yang sama, Dini menjelaskan bahwa perkawinan anak berakar dari ketidaksetaraan dan diskriminasi gender.
Faktor pendorong lainnya termasuk norma serta tradisi sosial dan budaya dengan keyakinan yang mengakar kuat di sekitar peran dan nilai-nilai yang dianggap harus dipatuhi oleh perempuan.
"Perempuan yang menikah muda juga menderita dampak negatif bagi pendidikan, prospek ekonomi, kehidupan sosial, kesehatan mental dan fisik, serta kesehatan dan kelangsungan hidup anak-anak mereka," terangnya.
Untuk mengatasi isu ini, Dini menekankan pentingnya peran orang tua dalam mendidik dan memberikan hak sepantasnya bagi anak.
Dari perspektif hukum, Perwakilan UNICEF untuk Indonesia Debora Comini mengungkapkan perlunya komitmen tingkat lokal untuk mengakhiri CEFM. Menurut data UNICEF, tingkat pernikahan anak di desa 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan pernikahan anak di perkotaan.
"Solusinya tidak bisa hanya diterapkan dalam skala nasional dengan prinsip one for all, pasti setiap daerah itu berbeda-beda pendekatan dan penerapannya," lanjutnya.
Comini mengatakan sekolah berperan besar dalam memberikan upaya untuk mencegah kehamilan remaja yang dapat berakibat pernikahan paksa.
"Apa yang diajarkan kepada anak-anak di sekolah dan relevansi pendidikan seksual akan menyumbang banyak dalam pencegahan pernikahan dini," kata dia.
Mengurangi atau menangani dampak CEFM, jelasnya, dapat meningkatkan kualitas kesehatan, pendidikan, pembangunan ekonomi, serta pencegahan kekerasan terhadap kelompok rentan, dalam hal ini anak perempuan.