Banyak perundingan damai telah digelar di Suriah, tapi kekerasan masih terus berlangsung. Jumlah korban terus berjatuhan setiap hari. Setelah tujuh tahun berperang, 465.000 nyawa warga Suriah melayang sia-sia.
Dan peperangan itu dimulai pada 15 Maret 2011 silam. Saat itu, demonstrasi damai pecah di Suriah. Itu mengikuti gerakan Arab Spring yang bergejolak di Tunisia dan Mesir, yang mampu menumbangkan otoritas pemerintah.
Suriah pun ingin mengikuti gerakan itu, namun Suriah berbeda. Bukan pemerintahan yang tumbang, tetapi konflik berkepanjanganlah yang justru terjadi.
Merespons demonstrasi itu, pemerintahan Presiden Bashar al-Assad justru membunuh ratusan demonstran dan memenjarakannya. Akibatnya, pada Juli 2011, para pembelot militer Suriah mengumumkan berdirinya Free Syrian Army, tentara yang ingin menggulingkan pemerintah.
Belajar dari pengalaman sejarah Suriah, penumpasan warga bukan hal baru. Pada 1982, ayah Bashar al-Assad, Hafez al-Assad, memerintahkan militer memberangus anggota Ikhwanul Muslimin dan membunuh ribuan orang.
Melansir Al Jazeera, konflik bertambah panjang dan parah ketika Rusia masuk ke medan konflik Suriah pada 2015 silam. Moskow memang sekutu utama Damaskus. Pemain regional juga ikut bermain. Iran mendukung Damaskus dengan penuh totalitas. Negara Arab lainnya, Turki, Qatar, Arab Saudi mendukung pemberontak anti-Assad.
Parahnya, Israel juga kerap melancarkan serangan ke Suriah. Untuk pertama kalinya senjata pertahanan udara Suriah berhasil menembak jatuh pesawat Negara Zionis itu pada Februari 2018 lalu.