Pada Jumat (22/11), Uni Eropa meluncurkan keluhan resmi ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terhadap pembatasan ekspor nikel dan bahan baku lainnya yang diberlakukan Indonesia.
Reuters melaporkan, Komisi Eropa menganggap kebijakan itu secara tidak adil membatasi akses produsen Eropa terhadap bijih nikel, batu bara, kokas, bijih besi dan kromium.
Uni Eropa menuduh kebijakan Indonesia dirancang untuk menguntungkan industri peleburan dan baja nirkarat dalam negeri.
Wakil Tetap Indonesia untuk PBB di Jenewa Hasan Kleib mengatakan bahwa pada Jumat dia telah menerima surat dari Uni Eropa yang secara resmi menyampaikan bahwa blok itu mengajukan sengketa terhadap Indonesia di WTO.
"Mereka menyampaikan permintaan melakukan konsultasi yang merupakan langkah awal dalam proses penyelesaian sengketa di WTO," jelas Dubes Hasan dalam keterangan tertulis PTRI Jenewa yang diterima Alinea.id, Rabu (27/11).
Hasan menjelaskan bahwa ada tiga kebijakan produksi besi Indonesia yang disengketakan oleh Uni Eropa. Pertama merupakan pembatasan ekspor untuk produk mineral, khususnya nikel, bijih besi dan kromium, yang digunakan sebagai bahan baku industri baja nirkarat Uni Eropa.
Kebijakan kedua merupakan insentif fiskal terhadap beberapa perusahaan baru atau yang melakukan pembaruan pabrik.
"Dan yang ketiga adalah skema bebas pajak terhadap perusahaan yang memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN)," lanjut Hasan.
Uni Eropa mengklaim tiga kebijakan tersebut melanggar Pasal XI. 1 GATT mengenai larangan pembatasan ekspor dan impor; Pasal 3.1(b) Agreement on Subsidy and Countervailing Measures mengenai subsidi yang dilarang; dan Pasar X. 1 GATT mengenai pelanggaran kewajiban transparansi peraturan.
Sebagai tahap pertama, jelas Hasan, Indonesia diberi waktu 10 hari untuk menjawab surat Uni Eropa untuk menolak atau menerima tawaran konsultasi. Dia menyatakan, hingga kini belum ada keputusan yang diambil pemerintah Indonesia.
"Sambil menunggu arahan dari pemerintah pusat, tentunya sebagaimana lazimnya kita terima tawaran Uni Eropa untuk berkonsultasi dengan waktu, tempat dan format yang akan disepakati bersama," kata dia.
Jika Indonesia bersedia, konsultasi harus dilakukan dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya surat tersebut atau sesuai tenggat yang disepakati bersama.
"Apabila Indonesia tidak bersedia untuk melakukan konsultasi, maka Uni Eropa berhak langsung meminta pembentukan panel sengketa WTO," ujar Hasan.