Mantan Presiden Sudan Omar al-Bashir dipindahkan ke penjara Kobar, yang memiliki pengamanan tingkat tinggi. Hal ini merupakan langkah lanjutan dari upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan dewan militer yang memegang kekuasaan di Sudan saat ini.
Setelah dilengserkan pekan lalu, Bashir sempat menjadi tahanan rumah dengan penjagaan ketat, di kediamannya yang berada satu kompleks dengan Kementerian Pertahanan. Pemindahan lokasi penahanan Bashir, diungkapkan keluarganya pada Rabu (17/4).
Penjara Kobar yang berada di sebelah utara Khartoum, dekat Sungai Nil Biru, menampung ribuan tahanan politik di bawah pemerintahan Bashir. Ini merupakan penjara paling terkenal di Sudan.
Militer Sudan menggulingkan Bashir setelah demonstrasi warga pecah pada Desember 2018. Unjuk rasa itu berujung pada aksi duduk di luar kompleks Kementerian Pertahanan.
Para pemimpin demonstrasi mengatakan, unjuk rasa akan terus berlangsung sampai dewan militer menyerahkan kekuasaan kepada otoritas yang dipimpin warga sipil.
Asosiasi Profesional Sudan (SPA), yang memimpin aksi protes, mendesak adanya perubahan besar untuk mengakhiri tindakan keras terhadap perbedaan pendapat. Mereka juga menuntut pemberantasan korupsi dan kronisme, serta peredaan krisis ekonomi yang memburuk selama tahun-tahun terakhir Bashir berkuasa.
Perwakilan demonstran dan kelompok oposisi utama yang dikenal sebagai Pasukan Deklarasi Kebebasan dan Perubahan, mengajukan dokumen tuntutan kepada dewan militer. Mereka mendesak pembentukan pemerintah sipil, namun tetap menyediakan tempat bagi perwakilan militer.
Dokumen dua halaman itu berisi desakan agar kabinet dibentuk dengan komposisi maksimal 17 menteri. Selain itu, parlemen transisi harus dibentuk dengan 120 anggota untuk mengawasi kinerja pemerintah.
Dewan militer mengatakan siap untuk memenuhi beberapa tuntutan pengunjuk rasa, termasuk memerangi korupsi. Hanya saja, mereka mengindikasikan tidak akan menyerahkan kekuasaan kepada masyarakat sipil.
Tawaran suaka Uganda
Uganda mempertimbangkan menawarkan suaka kepada Bashir meskipun dia didakwa oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
"Uganda tidak akan meminta maaf atas keputusan kami yang mempertimbangkan memberikan suaka bagi Bashir," ujar Menteri Luar Negeri Uganda Okello Oryem pada Rabu (17/4).
Bashir menghadapi perintah penangkapan ICC atas kematian sekitar 300.000 orang selama pemberontakan di Darfur, lebih dari satu dekade yang lalu.
Oryem menuturkan, sejauh ini Bashir belum menghubungi Uganda untuk meminta suaka. Namun, dia menilai tidak ada yang salah dari tawaran pemberian suaka politik bagi pemimpin yang digulingkan itu.
Tidak ada komentar langsung dari ICC atas pernyataan tersebut. Namun negara-negara anggota ICC, termasuk Uganda, sebenarnya berkewajiban untuk menyerahkan terdakwa yang berada dalam wilayah mereka.
Walaupun Bashir berada di bawah dakwaan ICC, dewan militer di Khartoum menyatakan tidak akan menyerahkannya. Sebagai gantinya, mereka berencana untuk mengadili mantan presiden itu di Sudan.
Presiden Uganda Yoweri Museveni sebelumnya telah mengkritik ICC, dan menganggapnya sebagai alat Barat menghakimi Afrika.
Menlu Oryem menegaskan bahwa dakwaan ICC tidak akan dianggap sebagai penghalang bagi permohonan suaka politik Bashir.
Setelah Museveni berkuasa pada 1986, hubungan antara Uganda dan Sudan sempat tegang. Uganda menuduh Bashir mendukung pemberontak Joseph Kony.
Kemudian, Sudan balik mengklaim Uganda menawarkan bantuan kepada kelompok pemberontak Sudan People Liberation Army (SPLA), yang merupakan cikal bakal terbentuknya Sudan Selatan.
Kedua negara akhirnya rujuk pada 2011 setelah Sudan Selatan resmi memisahkan diri dari Sudan. (The Guardian dan Reuters)