Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, benarkan adanya surat PBB (UN) terkait kekhawatiran atas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Namun, langkah tersebut dinilai terlambat.
"Terkait surat dari UN, surat itu kami terima pada 25 November dan itu tidak ke pemerintah, melainkan ke Komisi III DPR. Persetujuan [RKUHP] tingkat pertama telah diambil pada 24 November, jadi, ya, sangat terlambat," ungkapnya dalam telekonferensi pers di Kantor Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Jakarta, pada Senin (12/12).
Eddy, sapaannya, melanjutkan, melalui surat tersebut, PBB menawarkan bantuan bagi pemerintah Indonesia, terutama terhadap pasal-pasal terkait kebebasan berekspresi dan persoalan HAM. Kendati demikian, persetujuan tingkat pertama terhadap KUHP sudah terlebih dahulu dicapai sehari sebelum surat PBB diterima.
"Yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi itu, kami sudah menerima beberapa masukan dari masyarakat," ujarnya.
Eddy menekankan, meski telah disahkan, KUHP baru akan berlaku efektif 3 tahun lagi. Selama masa transisi, pemerintah akan terus melakukan sosialisasi atas substansi KUHP kepada seluruh masyarakat.
Sosialisasi juga akan dilakukan kepada aparat penegakan hukum (APH) serta mempersiapkan berbagai peraturan pelaksana KUHP. Langkah ini diharapkan dapat meminimalisasi penyalahgunaan kewenangan.
Eddy juga menegaskan, KUHP seharusnya tidak mengganggu kepentingan masyarakat, pelaku usaha, wisatawan, hingga investor asing. "Selama penegakan hukumnya sesuai dengan tujuan dari pembaruan hukum pidana melalui KUHP sebagai cerminan paling jujur dari peradaban hukum bangsa Indonesia."
Di sisi lain, Kemlu telah memanggil perwakilan PBB untuk Indonesia terkait komentar organisasi internasional tersebut, Senin (12/12). "Ini merupakan tata hubungan dalam berdiplomasi," ucap juru bicara Kemlu, Teuku Faizasyah.
Dalam hubungan diplomatik, Faizasyah menilai, ada norma yang sepatutnya dilakukan perwakilan asing di suatu negara melalui interaksi guna mendiskusi berbagai hal yang menjadi perhatian. "Jalur komunikasi, kan, selalu ada untuk membahas berbagai isu."
Menurut Faizasyah, sepatutnya perwakilan asing di Indonesia dalam komunikasi diplomatik menggunakan jalur diplomasi dan tak terburu-buru menanggapi suatu isu. Dia menegaskan, Kemlu terbuka dengan perwakilan luar negeri di Indonesia yang hendak menyampaikan pendapat.
"Ada baiknya bagi perwakilan asing untuk tidak secara terburu-buru menyimpulkan pendapat atau statement sebelum mendapatkan satu informasi yang lebih jelas. Kami membuka kesempatan bagi perwakilan diplomatik untuk menyampaikan pandangan mereka," tutur Faizasyah.