Puluhan ribu orang berbaris melalui ibu kota Serbia, Beograd, dan memblokir sebuah jembatan utama pada Jumat (12/5) dalam protes terbesar sejak dua penembakan massal yang mengguncang negara Balkan itu dan menewaskan 17 orang, termasuk banyak anak-anak.
Para pengunjuk rasa berkumpul di depan gedung Parlemen sebelum maju ke kantor pusat pemerintah dan ke jembatan yang membentang di Sungai Sava. Para pengendara harus memutar kendaraan mereka untuk menghindari macet. Di depan barisan terbentang spanduk hitam bertuliskan "Serbia Melawan Kekerasan".
Ketika para demonstran melewati gedung-gedung pemerintah, banyak yang meneriakkan slogan-slogan yang mengecam presiden populis Serbia, Aleksandar Vucic, yang mereka salahkan karena menciptakan suasana keputusasaan dan perpecahan di negara itu yang menurut mereka secara tidak langsung menyebabkan penembakan massal.
"Kami di sini untuk mengungkapkan jenis pemberontakan tertentu terhadap segala sesuatu yang saat ini mengelilingi kami, tetapi terutama kekerasan yang terjadi di hari-hari terakhir, dan itu ada di sekitar kami dalam beberapa tahun terakhir," kata warga Beograd Nevena Matic.
Media pro-pemerintah mengkritik blokade jembatan, surat kabar harian Novosti melaporkan bahwa "pelecehan telah dimulai, perusuh telah memblokir jembatan."
Tapi politisi oposisi Srdjan Milivojevic mengatakan kepada stasiun televisi N1 bahwa "ini adalah pertarungan untuk bertahan hidup." Dia berkata, "Jika presiden tidak memahami rakyatnya, sudah saatnya dia mengundurkan diri."
Polisi tidak melakukan intervensi. Saat malam tiba dan massa mulai bubar, penyelenggara berjanji akan mengadakan lebih banyak protes kecuali tuntutan mereka dipenuhi.
Menjelang protes, Vucic, yang memegang hampir semua pucuk kekuasaan, mengatakan protes itu merupakan "kekerasan dalam politik" dan "pelecehan" terhadap warga. Namun dia mengatakan polisi tidak akan terlibat "kecuali nyawa orang dalam bahaya."
"Apa yang memberi mereka hak untuk memblokir kehidupan normal orang lain?" kata Vucic, yang menuduh para pemimpin oposisi "menyalahgunakan tragedi" menyusul penembakan yang sangat mengguncang bangsa dan memicu seruan untuk perubahan.
"Mereka melecehkan warga dan tidak mengizinkan mereka bepergian," desak Vucic. "Tapi kami tidak suka memukul pengunjuk rasa, seperti yang dilakukan Prancis dan Jerman."
Unjuk rasa itu terjadi hampir seminggu setelah protes sebelumnya di Beograd yang juga menarik ribuan orang dan demonstrasi di kota-kota kecil di seluruh negeri. Dalam protes itu, pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri menteri pemerintah dan pencabutan izin siaran dua stasiun TV swasta yang dekat dengan negara dan mempromosikan kekerasan. Mereka sering menayangkan penjahat perang dan tokoh kejahatan yang dihukum dalam program mereka.
Kedua penembakan itu terjadi dalam waktu dua hari berturut-turut dan menyebabkan 17 orang tewas dan 21 luka-luka. Pada tanggal 3 Mei, seorang anak laki-laki berusia 13 tahun menggunakan senjata ayahnya untuk melepaskan tembakan ke sekolahnya di Beograd tengah. Keesokan harinya, seorang pria berusia 20 tahun secara acak menembaki orang-orang di daerah pedesaan di selatan ibu kota.
Partai-partai oposisi menuduh pemerintah populis Vucic memicu intoleransi dan ujaran kebencian sambil menguasai semua institusi. Vucic membantahnya. Dia telah menyerukan pawai tersendiri untuk 26 Mei di Beograd yang katanya akan menjadi "terbesar yang pernah ada."
"Kami tidak mengorganisir aksi unjuk rasa spontan untuk mempermainkan emosi masyarakat," tegas Vucic. "Kami akan menggelar reli persatuan, ketika kami akan mengumumkan keputusan politik yang penting."
Vucic juga mengatakan kepada wartawan bahwa warga telah menyerahkan lebih dari 9.000 senjata sejak polisi mengumumkan amnesti satu bulan bagi orang-orang yang menyerahkan senjata dan amunisi yang tidak terdaftar atau menghadapi kemungkinan hukuman penjara setelah periode itu.
Serbia diperkirakan menjadi salah satu negara teratas di Eropa dalam hal jumlah senjata per kapita, banyak di antaranya sisa dari perang tahun 1990-an. Tindakan anti-senjata lainnya setelah penembakan termasuk larangan lisensi senjata baru, kontrol yang lebih ketat pada pemilik senjata dan lapangan tembak, dan hukuman yang lebih keras untuk kepemilikan senjata secara ilegal.(foxnews)